Terdengar pergerakan jam dinding yang cukup nyaring di ruang rawat Nisa, karena di dalamnya hanya ada Nisa dan Gibran. Suara dentingan sendok menyentuh piring sesekali terdengar, karena saat ini Gibran sedang menyuap sendok demi sendok bubur ke dalam mulut gadis yang berada di hadapannya.
"Satu lagi," Gibran memberikan suapan terakhir untuk Nisa, dan gadis itupun menerimanya dengan senyuman yang terukir di bibir pucatnya.
"Sekarang giliran minum obat." Dengan telaten, Gibran merawat Nisa berharap gadis itu akan cepat sembuh. Perlahan Gibran membuka bungkusan obat yang tadi sudah suster berikan.
"Aaaaa.... " ucap Gibran yang ingin menyuapkan obat pahit itu kepada Nisa, namun gadis itu menggeleng kuat kepalanya seraya menutup rapat-rapat mulutnya menggunakan kedua tangannya.
"Nisa, biar cepet sembuh!" Gibran menjauhkan tangan Nisa dari mulut gadis itu.
"Gak mau, pahit!" gerutu gadis itu yang kemudian menekukan dagunya.
"Iyalah pahit, namanya juga obat. Kalau kamu gak mau minum obat, sekarang aku bakal tinggalin kamu sendirian disini. Aku bakal gak peduli lagi kalau kamu gelap-gelapan di sini sendirian." Ucapan Gibran membuat Nisa ketakutan. Mana mungkin gadis itu berani berada di suatu ruangan dimana ia tidak bisa melihat karena matanya tertutup perban putih.
Nisa melalar tangan milik Gibran. Ketika ia sudah mendapatkannya, ia memegang erat-erat tangan laki-laki itu. "Gibran jangan pernah tinggalin Nisa, Nisa gak suka!"
"Yaudah, Nisa minum obatnya." Nisa membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima suapan obat dari Gibran.
Gibran menyuapi obat itu dan setelahnya memberi air putih dalam gelas kepada gadis itu. Mata cowok itu menyipit akibat senyuman yang terukir di bibirnya.
"Aku udah minum obatnya. Kamu jangan pernah tinggalin aku, ya?" beo Nisa membuat Gibran lagi-lagi tersenyum.
"Iya, aku gak akan pernah ninggalin kamu apapun kondisi kamu." jawab Gibran.
"Janji?"
"Janji!" Gibran mengusap pelan puncak kepala Nisa dengan penuh kasih sayang.
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Gibran. Mendapati seorang dokter wanita dan Alvi di belakangnya.
"Sayang, Gimana keadaan kamu? Gak ada yang sakitkan?" tanya Alvi yang kini berada di samping Gibran.
"Kalau Gibran ada di samping aku, berarti aku gak apa-apa, Pah." terlihat senyuman yang mengembang di bibir gadis itu membuat orang yang melihatnya ikut tersenyum.
"Maafin Papa. Papa, gak bisa mempertahankan senyuman kamu itu, Nisa sayang." kali ini hati kecil Alvi yang berbicara.
"Syukurlah keadaan Nisa semakin membaik, perbannya mau saya buka sekarang?" ucap Dokter itu meminta izin.
Mendengar ucapan dokter, tubuh Gibran dan Alvi menegang seketika. Bagaimana kalau hasilnya tidak seauai dengan keinginannya?
"Buka sekarang dok, Nisa mau lihat Papa sama Gibran." ujar Nisa antusias.
"Baik." Dokter itu perlahan membuka lilitan demi lilitan perban putih itu.
Hingga kini perban di kepala Nisa tidak tersisa sedikitpun, memperlihatkan mata Nisa yang sedang tertutup.
"Sekarang buka mata kamu perlahan." titah dokter itu yang langsung gadis itu turuti.
Alvi memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali. Ia tidak mau melihat anak semata wayangnya itu menderita.
"Mata Nisa udah buka, tapi... " Nisa menggantungkan ucapannya. Mata Gadis itu terus menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata cantiknya itu.
"Kenapa gelap semua, Pah!" ucap Nisa sedikit berteriak. Matanya kini mengeluarkan cairan bening yang tak lain adalah air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...