"Bagaimana keadaannya sus?" Seorang wanita yang tengah terbaring lemas di brankar itu bertanya kepada seorang suster yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.
"Ibu harus terus di rawat dulu di rumah sakit ini. Dokter 'kan udah bilang, kalau kaki ibu mengalami cedera yang serius hingga melumpuhkan kaki ibu. Selain itu, jantung ibu juga melemah–" jelas suster itu yang terpotong karena pasien wanita itu menghentikan pembicaraannya melalui gerakan tangannya.
"Saya gak nanya kesehatan saya. Gimana keadaan anak saya?" tanya pasien wanita itu membuat suster tersenyum tipis.
"Pasien mengalami kebutaan. Dia tidak bisa melihat, kecuali ada donor mata sehat yang mau mendonorkannya." jelas suster.
Terdengar lenguhan pelan dari mulut pasien wanita itu. Dadanya terasa sesak hingga ia merasa susah untuk bernafas. Wanita itu perlahan meremas baju di bagian dadanya oleh tangan kanannya membuat atensi suster itu teralihkan ingin membantunya menolong wanita itu, namun wanita itu menolak.
"Besok pagi, kita lakuin oprasi. Saya mau mendonorkan mata saya kepada anak saya." ucap pasien itu susah payah.
"Tapi bu–"
"Saya mohon," pasien itu menyerngit kesakitan berasal dari dadanya yang sedang berusaha ia tahan.
"Izinin saya berbuat baik kepada anak saya. Dia berhak mendapat kebahagiaan dari saya. Tolong kabulkan permintaan saya sebelum saya pulang." tangan pasien itu memegang tangan suster yang posisinya tak jauh dari dirinya.
"Suster mau bantu saya-kan?"
Terlihat sorot mata sendu dari pasien itu membuat suster yang berada di hadapannya merasa iba.
———
"Ini masih malam, tapi cuaca-nya lebih hangat dari sebelumnya, dan aku juga udah gak ngantuk." beo Nisa yang setia Gibran dengarkan di sisinya. Cowok itu menghembuskan napas berat seraya tersenyum tipis.
"Nisa," Gibran memegang tangan Nisa yang tengah duduk di atas brankar.
Merasa terpanggil, gadis itu menaikkan sebelah alisnya, "Hm?"
"Ini, udah siang. Sekarang udah jam tujuh pagi." Tutur Gibran dengan hati-hati.
"Oh, sekarang udah siang. Aku kira masih malem. But, it's okay aku memang gak bisa lihat cahaya pagi ini." Gadis itu menatap kosong seraya tersenyum tipis. Nisa sudah sedikit tenang dari sebelumnya, dan mungkin sudah menerima kalau penglihatannya di ambil oleh Sang Pencipta.
"Tadi suster udah bawakan kamu makan sama obat yang harus kamu minum, sekarang aku suapin biar cepet sembuh dan bisa pulang ke rumah." Gibran menarik piring berisi makanan dari atas nakas itu dalam pegangannya agar ia bisa menyuapkan makanan itu kepada Nisa.
Dengan ketelatenan, cowok itu menyuapkan makanan demi makanan tanpa tolakan dari Nisa. Hingga sedikit bubur yang tidak sengaja menyentuh pipi Nisa, Gibran langsung mengusapnya agar pipi Nisa bersih dari sisa makanan.
"Tadi waktu kamu masih tidur, om Alvi kesini." ucap Gibran di sela-sela kegiatannya yang sedang menyuapi Nisa.
"Oh ya? Kenapa gak bangunin aku?" tanya Nisa dengan mulutnya yang masih dipenuhi makanan.
"Mana tega bangunin kamu yang tidurnya nyenyak banget, sampai kedengeran dengkurannya." cowok itu sedikit terkekeh karena membohongi Nisa, padahal kenyataannya gadis itu sama sekali tidak mendengkur saat tidur.
"Serius aku berisik kalau tidur? Aduh, malu banget." Nisa menepuk kepalanya seraya membulatkan matanya tidak percaya.
"Canda," jawab Gibran yang membuat Nisa kesal. Dengan susah payah gadis itu meraba kepala Gibran, hingga kini daun telinga cowok itu tergapai membuatnya tidak segan-segan menariknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Tunggal ✔
Teen FictionSeorang gadis yang berusaha kuat diatas sulitnya menjalani kehidupan dengan berjuang sendiri. Anak tunggal itu tidak mudah. harus menjadi kakak untuk diri sendiri, juga menjadi adik untuk diri sendiri. Dan yang pastinya menjadi satu-satunya harapan...