03. Filosofi Kopi

2.2K 615 223
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Tiba saatnya pada agenda yang paling ditunggu anak-anak Megaz setiap kali mereka akan tampil pada sebuah event. Yaitu makan-makan. Adat yang ditularkan turun temurun ini menjadi hal baru untuk Naraya. Adat yang unik, apalagi setelah mengetahui alasannya.

"Kenapa kita makan-makan dulu sebelum perform padahal afdolnya makan-makan dilakuin kalau kita berhasil di sebuah acara? Simpel aja. Kita ambil bahagianya. Kalau dari awal kita udah mencapai kebahagiaan, pasti kebahagiaan itu bakal berlanjut hingga seterusnya." Itu kata Zigas saat Naraya menanyakan alasan mengapa adat itu berjalan.

Kata Shea beda lagi. "Kalo kita makan bareng, pasti ada energi ekstra yang tanpa sadar kita salurkan satu sama lain. Dan tentu saja, kita butuh itu buat perform di setiap acara."

Memiliki pandangan yang berbeda, namun intinya tetap sama. Perihal kebersamaan yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Masa SMA itu masa emas untuk menciptakan banyak kenangan.

Anggota band Megaz sepakat untuk melaksanakan 'adat' di restoran Ikan Bakar Cianjur yang berada di daerah Kota Lama. Naraya dan Shea berangkat dengan Lian menggunakan mobil Lian. Sedangkan Marka, Leo, dan Zigas memilih untuk mengendarai motor.

Naraya tersenyum. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Kota Lama. Benar-benar masih terasa pesona dan kemagisannya. Peninggalan bersejarah yang sudah diolah menjadi lebih baik tanpa menghilangkan kesan antik.

Kehadiran mereka disambut dengan daftar menu yang begitu menggiurkan. Karena pada dasarnya Naraya bukan orang yang sulit untuk memilih makanan, ia menjadi orang pertama yang mendikte pesanan. Gurame Pesmol, Tumis Kangkung dan Jus Apel menjadi menu pilihannya.

"Guys." Suara Lian membuat lima pasang mata terfokus padanya.

"Gue cuma mau bilang makasih buat kalian yang udah mau berpartisipasi dalam acara ulang tahun sekolah dan membawa nama Megaz."

"Santai kali, Bro, Megaz udah jadi bagian penting dalam hidup gue, jadi santai aja," kata Leo.

"Ucapan terima kasih gue nggak berlaku buat lo." Lian menggeliat malas, Leo melotot.

"Gue juga mau bilang banyak terima kasih buat kalian yang udah mau terima gue tanpa mikir gue orang baru atau bukan. Y'all good person, guys," ujar Naraya. Meski hanya ucapan dengan dua kalimat, namun berhasil membuat anggota Megaz tersenyum. Karena tidak ada yang lebih baik dibanding pengakuan orang lain bahwa diri kita baik.

.
.

Naraya dan anggota Megaz keluar dari restoran tepat setelah azan magrib berkumandang. Langit boleh gelap, tapi Kota Lama semakin gemerlap. Langit malam tidak lantas membuatnya redup, karena keindahan itu benar-benar hidup.

"Kita salat dulu, ya," ujar Marka, lebih terdengar seperti perintah untuk melaksanakan ibadah.

Mereka berjalan menuju masjid terdekat. Naraya sedang didatangi tamu bulanan, itulah mengapa ia menunggu teman-temannya di depan masjid.

Rasa takjub Naraya sepertinya belum habis juga. Karena keindahan harus diabadikan, maka ia mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang ia bawa. Membuka menu kamera, dan mengatur pencahayaan demi menghasilkan gambar yang cantik.

Apapun itu, jika di matanya terlihat cantik, maka ia mengarahkan kamera ponselnya pada objek tersebut. Mulai dari lampu yang mengisi sepanjang jalan sekitarnya, laki-laki tua yang tengah berusaha mendorong gerobak dagangannya, bunga sedap malam yang gugur bergantian, hingga bangku taman yang terdiam. Semua berhasil diabadikan oleh Naraya.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang