08. Matahari Si Penyendiri

1.2K 350 70
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Seperti ulat yang terbakar panasnya bara api. Seperti itulah Jea Chaeyeon ketika bertemu Leo Jeno. Seperti siang ini. Melihat Leo dan kawan-kawannya mematoki bangku kantin 3, membuat Naraya dan Shea seketika menyesal membawa Jea ke kantin. Seharusnya mereka sudah memesan seporsi siomay dengan sambal kacang ekstra pedas, tapi Jea, menjadi penghambat cita-cita Naraya dan Shea.

"Serius dong, ini gue udah cakep belum?" Sudah kesekian kalinya Jea menanyakan hal yang sama. Sedangkan mereka masih tetap berdiri di pintu kantin untuk menjawab pertanyaan Jea yang tidak berguna.

"Lo udah tanya berapa kali?" Naraya mengembuskan napas kasar.

"Sekali lagi tanya gitu, gue getok pala lu!" ancam Shea.

Sedangkan Kiran, hanya tertawa melihat kelakuan Jea yang selalu kehilangan jati diri saat dihadapkan dengan Leo Jeno.

Ketika Leo menemukan Jea di tengah keramaian kantin, laki-laki itu mendekati Jea. "Lo kalau mau ketemu gue nggak perlu dandan dulu. Kasihan, temen-temen lo kelaperan."

"Gue nggak dandan!" jawab Jea cepat.
Malas mendengar percakapan dua sejoli yang sama-sama tidak warasnya, membuat Shea menarik tangan Naraya dan Kiran untuk meninggalkan Jea dan Leo.

Ketika melewati meja tempat Leo dan teman-temannya duduk, kini Naraya menemukan Nadi ada di sana juga. Tidak mengherankan, Naraya juga sudah tahu bahwa Nadi dan Leo berteman. Ada dua orang juga di samping Nadi. Naraya tahu nama mereka. Haikal Renjun dan Juan Jaehyun. Naraya hanya tahu namanya, namun tidak mengenalnya. Ah satu lagi yang Naraya tahu, di antara Nadi dan teman-temannya, ada seseorang yang selalu menatap Naraya dengan tatapan tidak suka, yaitu Haikal. Seperti sekarang ini, Naraya hanya lewat, tapi tatapan benci itu terus mengikuti.

Pada detik ke sekian, tanpa sengaja mata Nadi dan matanya bertemu. Bibir Nadi melempar senyum, sedangkan hati Naraya yang bergetar karena menangkap senyum itu. Ketika Naraya selesai memesan makanan dan duduk di meja yang tak jauh dari tempat duduk Nadi, laki-laki itu menghampiri.

"Habis makan, ada yang mau aku bicarakan. Bisa minta waktunya sebentar?"

Naraya mengangguk. "Iya. Lama juga nggak apa-apa."

Mendengar jawaban Naraya, Nadi terkekeh. "Makan yang banyak," ujarnya. Kemudian kembali ke tempat duduknya semula.

.
.

Sesuai janjinya pada Nadi. Naraya menggunakan sisa jam istirahatnya untuk menemui laki-laki itu di lapangan belakang sekolah. Ia menemukan Nadi tengah duduk di bawah pohon Trembesi. Laki-laki itu membelakanginya. Naraya sengaja tidak menimbulkan suara, agar Nadi yang tengah tenggelam dalam lamunan tidak terganggu olehnya. Hingga satu menit kemudian, Nadi sadar, bahwa Naraya sudah ada di sampingnya.

"Ah, maaf," ujarnya.

"Berkelana di alam lamunan memang menyenangkan. Tapi nggak di bawah pohon juga, Na, ngelamunnya. Nanti kalau kamu kesambet gimana?"

Nadi tertawa. "Kamu percaya di pohon ini ada penunggunya?"

"Di setiap tempat pasti ada penunggunya. Cuma, aku khawatir aja. Kalau kamu kesambet, yang kena imbas pertama kali kan aku."

Nadi mendengus geli. Tujuannya membawa Naraya ke sini bukan untuk membicarakan penunggu pohon Trembesi. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Naraya, oleh karena itu, kini Nadi mengeluarkan kotak beludru berwarna biru tua dari saku celananya.

"Buat kamu," ucapnya.

"Apa ini?" Tanpa menunggu jawaban Nadi, Naraya membuka kotak kecil itu.

Berisi sebuah gelang tali kombinasi rantai keperakan dengan hiasan matahari berwarna keemasan sebagai liontinnya. Naraya tertegun. Benda yang tengah ia tatap terlihat begitu indah di matanya. "Cantik sekali, Na."

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang