12. Panggilan Nana; dari Ibu & Naraya

982 277 47
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Rasa sesak di dalam dadanya belum sepenuhnya hilang. Nadi tidak marah pada Juan, Nadi tidak kesal dengan Leo ataupun Haikal. Nadi hanya benci dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Bahkan setelah bertahun-tahun pun, ia tidak bisa berdamai dengan masa lalunya. Tapi, ia selalu berusaha membuat Naraya berdamai dengan masa lalu kelamnya. Nadi benar-benar merasa bahwa dirinya adalah seorang pengecut akut.

"Na?”

Nadi gelagapan sendiri, ketika perempuan dengan sweater merah marun menepuk bahunya pelan. Perempuan dengan bau stroberi itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tetap cantik.

Seperti janji Nadi pada Naraya dua hari lalu. Ketika Naraya mengatakan bahwa ia malu pada Nadi karena ia telah menceritakan getir pahit masa lalunya, Nadi menjanjikan sesuatu yang mampu mengembalikan senyum gadis itu. Yaitu bertemu dengan Bapak.

Malam ini, Naraya menemui Nadi dengan senyum tercantik yang ia miliki. Sejujurnya ia gugup, karena selama bersama Nadi, detak jantung menggelora itu selalu ada menemani rasa bahagianya. Tapi kali ini, Naraya gugup karena akan bertemu dengan Bapak.

Bapak. Laki-laki yang selalu menjadi objek cerita Nadi. Laki-laki yang selalu membuat Nadi menceritakan namanya dengan senyuman bangga. Laki-laki yang mengajarkan banyak hal pada Nadi sehingga Nadi bisa sehebat ini di mata Naraya.

"Siap ketemu Bapak?" Nadi memasangkan helm bogo berwarna merah jambu milik Naraya.

"Siap," jawab gadis itu tegas. "Tapi nggak siap," sambungnya, dengan suara lemah. "Tapi siap!" Kali ini suara Naraya jauh lebih semangat.

Mendengar jawaban super labil dari Naraya, membuat Nadi mendengus geli. "Kalau nggak siap, ditunda dulu saja. Kita bisa jalan-jalan ke Kota Lama, atau ke mana saja yang kamu mau."

"Nggak, nggak, nggak. Kan kamu udah janji, Na. Lagian ini cuma mau ketemu Bapak kok. Bertujuan menyambung silaturahmi, bukan lamaran. Kenapa harus ditunda?"

"Ya siapa tahu nanti Bapak nyuruh kita nikah."

Naraya melotot. "Nggak usah ngawur kamu!"

"Memang kamu nggak mau nikah sama aku?"

"Astaga, Na. Aljabar saja aku belum lancar, otakku belum sampai kalau suruh mikirin pernikahan." Omelan Naraya ditenggelamkan suara Si Biru yang dinyalakan Nadi.

"Ya sudah, kalau aljabarmu sudah lancar, kita menikah, ya?"

Nadi memang semprul. Laki-laki paling tidak tahu diri sekaligus laki-laki yang sangat istimewa di mata Naraya. Padahal Naraya sudah jelas-jelas menghindari topik pernikahan, Nadi malah semakin menjadi-jadi. Mau membuat pipi Naraya semerah apalagi?

Perjalanan dari rumah Naraya ke rumah Nadi membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Kadangkala Naraya mengujarkan pinta, agar jalanan di Semarang lebih panjang dan lebih jauh jangkauannya. Agar ketika bersama Nadi, waktunya jauh lebih lama.

Baru saja dibicarakan, tahu-tahu Si Biru sudah berhenti di sebuah rumah dengan halaman yang super luas. Kira-kira, halamannya tiga kali lipat dari halaman rumah Naraya. Di sana ada dua bangunan rumah. Yang satu jauh lebih lebar, dan satunya lagi rumah sederhana dengan banyak ragam tanaman.

Panti Asuhan Kasih Ibu.

Tulisan itulah yang membuat Naraya tersenyum. Nadi pernah bercerita, bahwa Bapak dan Ibu adalah pendiri panti asuhan yang kini ada di depannya. Selain Nadi, Bapak dan Ibu tak henti-hentinya menumbuhkan rasa kagum Naraya. Keluarga ini benar-benar mengesankan.

Namun sayangnya, Naraya tidak akan bisa bertemu Ibu. Karena Ibu lebih dulu terbang ke surga-Nya. Naraya juga bisa membaca dari semua cerita-cerita Nadi, bahwasanya keluarga mereka tidak kaya akan harta namun kaya akan cinta.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang