20. Bulan dan Matahari Berada di Langit Yang Sama

717 192 53
                                    

Halo. Apa kabar kalian?
Jangan lupa berbuat baik untuk hari ini.
Di mana pun kalian berada, semoga dikelilingi kebaikan-kebaikan juga.

Jangan lupa vote & comment di setiap paragraf cerita ini, ya. Karena kata-kata dan support yang kalian berikan merupakan hal magis yang mampu menciptakan semangat tersendiri buat aku.

Aku percaya, kalian adalah bagian dari orang-orang baik yang mampu mengapresiasi orang lain.

Selamat hari Sabtu. Selamat menikmati cerita Nadi dengan segala rindu.

With love,
Dyylaksara.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Ketika Naraya memasuki rumah, seluruh anggota keluarganya sedang berada di ruang makan.

Papa dan Bunda sedang menikmati secangkir teh hijau hangat yang seringkali dicampur dengan madu. Sedangkan Orion dan Rigel tengah menatap layar ponsel yang menampilkan film kartun dengan dua cangkir gelas berisi susu di depannya masing-masing. Ada satu lagi gelas berisi susu strawberry yang belum berkurang isinya, tentu saja milik Naraya yang sudah dipersiapkan oleh Bunda.

"Gimana, Kak, hari ini? Have fun?" tanya Bunda, setelah menjawab salam dari Naraya.

Naraya menarik kursi di sebelah Bunda. "Alhamdulillah. Bunda sama Papa gimana?" tanya Naraya, yang kemudian menyeruput susu strawberry-nya.

"Of course. Karena Bunda menikmati pekerjaan Bunda," jawab Bunda.

Papa hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Naraya. "Kakak kapan berangkat?" tanya Papa kemudian.

Naraya melirik ke arah Bunda. "Bunda sudah cerita ke Papa," jelas Bunda.

"Berangkat lusa, Pa. Gimana? Boleh kan?"

"Why not? Selama kamu have fun dan ada yang jaga Papa sudah pasti merestui. Papa waktu masih muda nggak banyak jadwal praktik juga maunya travelling terus! Jadi kamu harus seperti itu. Jangan sampai menyesal karena kehabisan waktu. Healing itu perlu," jelas Papa.

"Makasih, Pa. Eh, tapi ... Rabu minggu depan Nara ada jadwal check up sama Tante Diandra. Gimana, Pa?"

"Nanti coba Papa bicarakan lagi. Ganti hari setelah kamu pulang ke Jawa." Mendengar jawaban Papa, Naraya mengembuskan napas lega.

"Kamu nggak mau ajak Lawu juga? Biar kalian jadi temen deket gitu. Nanti kalau dia udah masuk ke Megantara, kalian nggak canggung lagi," usul Bunda tiba-tiba, yang dibalas dengan pelototan Naraya.

"Lebih canggung lagi kalau nggak kenal tapi malah liburan bareng, Bundaaaaaa."

Papa terkekeh. "Kalau kalian bisa berteman baik, pasti akan mengingatkan persahabatan kami waktu kuliah."

"Iya, ya, Pa. Sayang sekali anak kandung Diandra dipanggil duluan," celetuk Bunda.

"Anak kandung? Memangnya Lawu bukan anak kandungnya, Bunda?" tanya Naraya sambil tertawa. Perkataan Bunda seolah-olah meng-anaktirikan Lawu.

"Memang bukan. Tapi kamu cukup tau aja. Jangan sekali-sekali membahasnya di depan Lawu," nasihat Bunda.

"Terus Lawu itu anak siapa? Anak kandung Tante Diandra meninggal karena apa? Kok bisa?" Naraya semakin penasaran dengan psikiaternya itu.

Papa menaruh cangkir tehnya di atas piring kecil sebelum memulai cerita. "Hidup Tante Diandra itu cukup rumit. Bahkan ketika Papa terjatuh pun, cambuk Papa untuk bangkit itu dia. Karena, dia saja yang jauh lebih berat dari saya bisa bangkit, mengapa saya tidak?"

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang