10. Kisah Dua Kepala Keluarga

1K 311 75
                                    

⚠️WARNING.
Drunk, violence, traumatic.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

26 November 2016. Hari itu, Naraya tepat berusia 16 tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Naraya selalu menantikan ucapan selamat ulang tahun dari kedua orang tuanya. Bukan sekadar ucapan lewat telepon atau ketikan pesan, tapi Naraya ingin kedua orang tuanya itu berada di sisinya.

Tapi terkadang, keinginan hanyalah sebatas keinginan. Karena pada akhirnya, semuanya akan kalah dengan kenyataan.

Bunda tetaplah ibu yang menyayangi anaknya dalam jarak jauh. Eksistensi Bunda yang ada di Kota Atlas membuat Naraya kembali mendapat ucapan lewat pesan dan kado yang katanya akan dikirimkan. Tapi Naraya tak lagi ambil pusing, karena janji Ayah tadi pagi, yang katanya akan pulang awal untuk merayakan bertambahnya usia Naraya.

Barangkali bumi iri dengan kebahagiaan kecil Naraya. Buktinya, pada jam yang seharusnya menjadi waktu kepulangan Ayah, bumi malah senang hati dijatuhi hujan deras oleh langit. Tanpa henti, tanpa ampun. Petir menari-nari, seolah ikut merayakan ulang tahunnya.

Sedangkan Naraya, bergelung dengan selimut di kamarnya sembari menanti-nanti kepulangan sang ayah. Sudah berkali-kali Naraya mengirimkan pesan, namun tidak ada jawaban. Jangankan dijawab, masuk saja tidak. Sedikit banyak gadis itu mulai khawatir. Akankah ayahnya baik-baik saja di saat langit riuh menyerukan congkaknya lewat hujan yang menggebu-gebu? Ayah adalah satu-satunya rumah untuk Naraya. Rumah yang siap melindunginya dari apa pun.

Seperti saat hujan malam ini contohnya, meskipun ia tengah berada di dalam rumah, namyn karena ketiadaan ayah di sampingnya, membuat Naraya tetap merasa terhujani. Karena kembali lagi, Ayah adalah satu-satunya rumah untuk Naraya. Mungkin tubuhnya tidak basah, tapi hatinya sudah kuyup sedari tadi.

4 jam terlalui, hujan belum pergi, dan Ayah belum kembali. Cemasnya sama sekali belum terkurangi. Di tengah rasa cemas yang bergelimang di hatinya, pintu kamar Naraya tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok Ayah dengan pakaian yang sudah basah semua. Derasnya hujan menelan suara yang seharusnya masuk dalam indra pendengarannya, bahkan suara yang menandakan kepulangan Ayah pun tidak dapat didengar olehnya.

"Astaga, Ayah. Sebentar, Naraya ambilkan─"

"Anyelir." Suara Ayah yang setengah menggigil, membuat Naraya membeku. Barusan Ayah memanggilnya dengan nama Bunda. "Kenapa kamu meninggalkan saya?"

"Bunda tidak pernah meninggalkan Ayah, Ayah yang meninggalkan Bunda." Naraya mengucapkan fakta. Karena tragedi pertengkaran Ayah dan Bunda 6 tahun silam, membuat Ayah membawa Naraya untuk meninggalkan Bunda. Sendirian.

Ayah mendekat ke arah Naraya. Sama sekali tidak terduga, Ayah mendorong tubuh Naraya hingga gadis itu menabrak dinding kamarnya. "A-ayah."

"Saya memukul kamu karena saya cemburu. Saya cemburu karena saya tidak mau kehilangan kamu. Kenapa kamu belum mengerti juga, Anyelir?" Bau minuman keras menguar bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari bibir Ayah.

Naraya terlampau bingung dengan keadaan yang terjadi. Ada rasa kasihan pada Ayah, ada rasa bersalah atas nama Bunda, tapi semua itu tertutup rasa takut yang mendominasi pada diri Naraya. Karena, meski laki-laki di depannya adalah ayahnya, namun manusia tidak bisa mengendalikan dirinya jika sudah berada di bawah pengaruh alkohol.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang