━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺"Sayang?"
"Ya?" Laki-laki dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya itu tampak menoleh untuk menatap wajah sang istri.
"Ingat Genta Wijaya?"
"Dokter bedah yang menyelamatkan Lawu? Sahabatmu itu? Tentu aku ingat," jawabnya.
"Dia sedang membutuhkan bantuanku. Putrinya mengalami parasomnia. Dan dia mempercayakan itu padaku. Bagaimana menurutmu?" tanya sang istri yang tak lain dan tak bukan adalah Diandra Daksayani. Perempuan yang dikenal Naraya dengan nama Panacea.
"Genta sudah menyelamatkan Lawu. Aku merasa berhutang budi padanya," lanjutnya.
"Kalau begitu kita harus pulang," jawab sang suami. Lukas Handaru—Presdir perusahaan IT terbesar kedua di Asia Tenggara yang berpusat di Singapura.
"Serius?" Mendengar nada girang dari sang istri, laki-laki itu tersenyum, lantas mengusap lembut puncak kepala istrinya.
"Ya. Ada beberapa laporan dari pengawas mengenai peluncuran ponsel untuk 2018 mendatang. Jadi kita juga harus melakukan cross check di sana."
"Kamu turun tangan langsung?" tanya Diandra keheranan.
"Kita juga belum pernah mengawasi langsung perusahaan di Indonesia, Sayang." Mendengar jawaban Lukas, Diandra mengangguk setuju.
"Berarti kita harus tinggal di sana untuk beberapa waktu?" tanya Diandra memastikan.
"Ya. Berkali-kali Lawu juga membujukku untuk pulang. Entah karena apa, ia begitu ingin kembali ke sekolah SMA-nya di Semarang. Kita tinggal di Semarang saja."
Malam itu, Diandra tidur dengan segala kebahagiaannya. Tinggal di Semarang untuk sementara waktu? Itu artinya ia memiliki kesempatan untuk mencari anak itu.
.
."Hari Minggu. Di rumah saja, Nad?" Bapak muncul dengan wajah yang masih basah. Bisa ditebak, Bapak baru saja membasuh wajahnya untuk menghilangkan kantuknya.
"Ini masih subuh, Pak. Mau pergi kemana subuh-subuh begini? Mending ya di rumah saja," jawab Nadi. Beberapa kali laki-laki itu menguap dan menutup mulutnya. Sepuluh menit yang lalu, ia melaksanakan solat subuh, namun kantuk itu tidak hilang dari matanya.
"Mau minum kopi? Biar Bapak buatkan."
"Nggak usah, Pak," cegah Nadi buru-buru. "Biar Nadi saja yang membuatkan. Bapak tunggu di sini." Laki-laki itu bangkit dari kursi bambu yang ada di bawah pohon depan rumahnya. Setelah sandal swallow hitam berhasil melandasi kakinya, Nadi melangkah pergi.
Selang beberapa menit, Nadi kembali dengan dua cangkir kopi yang harumnya menguar segar. Bagi pecinta kopi seperti Bapak dan Nadi, pahitnya kopi adalah seni, harumnya kopi adalah inspirasi. Jadi, entah seberat apa pun masalah yang tengah dihadapi, kopi selalu menjadi solusi. Sebahagia apa pun kondisi yang terjadi, kopi selalu menjadi hadiah tersendiri.
"Kopi kapal api dengan gula setengah sendok." Nadi meletakkan cangkir door prize 17-an tahun lalu yang berisi kopi hitam di depan Bapak.
Bapak tersenyum. "Terima kasih, Nadi."
"Sama-sama, Pak." Nadi membalas senyum itu. Kemudian fokusnya teralih pada secangkir kopi yang mengepul. Dituangnya pelan-pelan kopi itu ke dalam piring kecil sebelum meminumnya. "Bapak tidur nyenyak hari ini?"
Bapak menggeleng. "Belakangan ini Bapak selalu didatangi Ibu. Rindu katanya."
"Pasti Bapak malu-malu dan tidak mau mengaku pada Ibu kalau Bapak juga rindu. Iya, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadi | Na Jaemin
Fanfiction"Di kehidupan berikutnya, aku ingin menjadi matahari." "Kenapa harus matahari? Kamu tahu, Na, matahari adalah satu-satunya hal yang akan selalu menjadi penyendiri," kata Naraya. Kini matanya mulai beralih pada langit, dan menerjang silaunya sinar Sa...