06. Dunia Untuk Orang Baik

1.6K 418 112
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Malam minggu. Malam yang syahdu untuk menuntaskan rindu dengan bertemu. Pada awal Februari ini, Nadi memutuskan menemui Ibu untuk menuntaskan rindunya yang menggebu. Memang bukan hari yang tepat untuk berkunjung, tapi barangkali Ibu sudah terbiasa dengan kedatangan Nadi yang serba tiba-tiba.

Setelah menabur bunga dan mengirim doa, Nadi mulai menceritakan banyak hal. Mengoceh panjang lebar dengan hati yang berdebar. Ia memang tidak akan mendapat jawaban, namun bercerita mengenai harinya di tempat Ibu dibaringkan mampu menciptakan kelegaan.

Matahari mulai karam ketika Nadi berpamitan untuk pulang. Nadi tidak pernah membawa Si Biru ketika mengunjungi Ibu, karena suatu hari Ibu pernah berkata, "cara mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menggunakannya. Selama kakimu, tanganmu, dan semua anggota badanmu bisa digunakan, gunakanlah, terutama untuk kebaikan. Zaman memang mengalami kemajuan, tapi jangan menggantungkan hidupmu pada kemajuan zaman."

Hampir semua perkataan Ibu tersimpan rapi di ingatan Nadi. Ibu mengatakan hal itu ketika Nadi menginginkan motor baru. Ia ingin mengelilingi kota bersama Bapak dan Ibu agar ia bisa memiliki cerita yang bisa diceritakan pada teman-temannya. Ia masih ingat betul, ketika Ibu menggandeng tangannya dan membawa dirinya berjalan ke daerah Jalan Pemuda.

Banyak hal baru yang Nadi temukan kala itu. Ia tidak lagi merecoki Bapak perihal motor baru, karena pada akhirnya perjalanannya dengan Ibu menciptakan banyak cerita yang siap ia berikan pada teman-temannya.

Titik-titik keringat mulai bermunculan di dahi laki-laki itu. Tapi sepertinya, hal itu sama sekali tak membuatnya terusik. Sementara, langit semakin menguning. Banyak di dunia ini yang membuatnya terpikat, termasuk matahari yang tenggelam dengan tenang.

Di kehidupan berikutnya, Nadi ingin menjadi matahari. Selain sebagai pusat kehidupan, matahari adalah lambang terbaik untuk segala ketabahan. Meski teriknya banyak dibenci, namun ia selalu mampu berdamai dengan diri sendiri. Meski panasnya banyak dihindari, namun ia tidak pernah lelah untuk terus menghidupi.

Coba bayangkan, apabila matahari mudah menyerah seperti sosok Leo Jeno Sagara. Pastinya, bumi ini tidak bisa merasakan perayaan usianya yang ke 20 abad. Untuk itu, di kehidupan saat ini, Nadi belajar menjadi matahari. Memang benar, ia tidak bisa menjadi pusat kehidupan seluruh manusia di bumi seperti hakikat dari matahari, namun ia berupaya menjadi pusat kehidupan yang menciptakan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya.

Panggilan salat menghentikan perjalanannya. Tidak ada yang lebih penting dibanding menghentikan aktivitas ketika panggilan untuk menghadap kepada-Nya dikumandangkan. Ini juga pesan Ibu, tapi bedanya, sudah menjadi kewajiban tersendiri untuk Nadi. Jangan pernah meninggalkan salat. Kata-kata yang paling disukai Nadi dan kerap kali menjadi pengingatnya ketika ia terkena bujuk rayu setan agar meninggalkan ibadah adalah; tetap dirikan salat meskipun dirimu jahat.

Konsolidasi yang pas meski terkesan egois dan memaksa. Tapi kenyataannya, ibadah adalah kewajiban untuk semua orang. Entah itu tua atau muda, kaya atau miskin, orang suci, bahkan pendosa sekalipun. Oleh karena itu, meskipun Nadi bukan termasuk orang-orang baik yang sudah dipastikan akan mencium aroma surga, namun ia berusaha mengingat keberadaan Tuhannya atas apa yang diberikan kepadanya selama hidup di dunia.

Seusai melaksanakan salatnya, Nadi sengaja duduk sebentar di pelataran masjid. Bukan apa-apa, ia hanya ingin. Duduk dulu, tak perlu terburu-buru. Toh di dunia ini yang paling aman adalah rumah Tuhan, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Hingga kesekian kali ia mengambil napas, sosok laki-laki bersarung Gajah Duduk yang sudah kumal, mendekatinya. "Lho? Kamu kan anak laki-laki di Johar Lama beberapa hari lalu?"

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang