05. Elegi Dua Hati

1.7K 507 123
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Kalau bulan bisa ngomong, dia pasti tak akan bohong.

Benarkah?

Lantas, apakah Naraya harus memaksa bulan untuk mengeluarkan kata-kata demi mendapat kejujuran yang selama ini ia cari?

Naraya tidak tahu.

Peliknya hidup memang tidak ditakdirkan untuk dikeluhkan, melainkan itu adalah cara Tuhan mendekatkan kita dengan-Nya. Naraya tahu, Naraya sadar sepenuhnya. Tapi tak jarang, ia masih menyalahkan Tuhan atas jalan hidupnya yang penuh goncangan.

Seperti berjalan di atas batu. Seperti berenang di udara. Menyakitkan dan penuh kemustahilan. Naraya memilih lari dari peliknya hidup. Namun Naraya lupa, semakin ia berlari, batu-batu itu semakin tajam menusuk kakinya. Udara-udara itu semakin mustahil untuk diselaminya.

Naraya lahir di ibu kota. Pada tahun ketiga pernikahan bunda dan ayahnya. Iya, Ayah. Bukan Papa. Inilah yang terkadang masih menjadi 'mengapa' yang tak akan ada jawabnya. Mengapa ia harus menjadi putri ayahnya? Bukan papanya?

Singkat cerita tentang jalan hidup Naraya. Ketika bibir tak mampu berbicara, alangkah baiknya jari yang menari untuk bercerita.

17 tahun yang lalu. Barangkali ia terlahir sebagai bayi yang akan terus tertawa. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hidup dengan kedua orang tua yang saling mencintai. Apalagi Naraya hadir di tengah-tengah cinta itu. Bunda sangat mencintai Naraya. Sedangkan Ayah sangat mencintai Bunda. Sebuah kolerasi yang manis.

Hingga sepuluh tahun kemudian, Naraya sadar, bahwa kalimat 'Ayah sangat mencintai Bunda' adalah pemicu ledakan bom dalam hidupnya. Rasa cinta Ayah yang berlebih membuat Bunda kehilangan kebebasannya. Bunda terkukung dalam jeruji tak kasat mata yang dibangun Ayah selama bertahun-tahun. Apa pun yang Bunda lakukan, selalu menjadi hal yang memicu cemburu buta.

Tidak ada kata bahagia jika tidak ada kata bebas. Menciptakan luka berkedok cinta. Itulah yang dilakukan Ayah pada wanita yang Naraya sebut Bunda.

Saat itu Naraya tidak banyak tahu. Ia hanya mengingat apa yang ia lihat. Tamparan Ayah pada pipi Bunda. Pecahan kaca yang menjadi saksi bisu meluapnya amarah Ayah. Hingga rambut Bunda yang rontok karena jambakan Ayah.

Naraya selalu diam. Ia terlalu kecil untuk berbicara. Tapi ketika Bunda berteriak mengungkit perceraian dan dihadiahi tamparan keras oleh Ayah, Naraya bersuara, "Ayah ... apa salah Bunda?"

Seketika itu juga Ayah membawa Naraya pergi dari rumah, lantas menjawab, "Bundamu sudah tidak mencintai Ayah. Orang-orang seperti itu disebut pengkhianat. Pengkhianat itu orang jahat, Naraya. Bundamu harus dihukum."

"Kalau Bunda dihukum, Bunda nggak akan jadi orang jahat lagi kan, Yah?"

Manik cokelat milik Ayah yang diturunkan kepada Naraya menerawang ke depan. "Ya, mungkin begitu."

"Kalau gitu, hukum saja Bunda. Tapi, caranya gimana, Yah?"

"Naraya tinggal dengan Ayah, ya? Biarkan Bundamu sendirian. Itu hukumannya."
Naraya kecil mengeluarkan senyum bodohnya. "Iya, Ayah. Aku ikut dengan Ayah.

Malam itu, ketika penghuni rumah sudah sibuk di alam mimpinya, Naraya terbangun karena mimpi yang sama sekali tidak ia harapkan. Naraya menangis, Naraya kecewa, Naraya menyesal karena sudah meninggalkan Bunda 7 tahun ini. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, hatinya dipatahkan oleh laki-laki yang menjadi cinta pertamanya, yaitu ayahnya sendiri.

.
.

Meski kerap membuat Nadi menahan emosi, Haikal tetaplah teman yang bisa mengerti keras kepala Nadi. Laki-laki yang jarang tersenyum itu seringkali mengibaratkan Nadi seperti rumah kosong yang tak berpenghuni.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang