07. Filantropi Sosok Papa

1.3K 404 117
                                    

Aku menulis cerita ini bukan semata-mata menyatukan Nadi dan Naraya. Tapi aku juga ingin, pembacaku membawa banyak pelajaran hidup setelah membaca cerita. Lewat setiap kata yang kususun satu persatu, semoga kalian membawa pelajaran-pelajaran itu.

With love,
Dyylaksara

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Naraya tahu penyebab Bunda meninggalkan ayahnya. Itulah mengapa, kini ia meninggalkan ayahnya juga. Namun lagi-lagi mimpi mengerikan itu mendatangi dirinya. Sehingga, senja hari ini yang seharusnya dapat dinikmati, malah mendatangkan luka mendalam untuk Naraya.

Alih-alih melupakan, tapi nyatanya semakin membuat Naraya kepikiran. Apalagi ketika melihat kebersamaan Bunda dengan Papa. Ada rasa tidak terima di lubuk hati yang paling dalam. Seolah-olah ada bisikan lain yang mengatakan bahwa ucapan ayahnya 7 tahun silam benar. Bunda adalah penjahat yang disebut pengkhianat.

Meski di sisi lain Naraya ingin sekali berterimakasih pada Papa karena sudah menemani Bunda ketika Naraya tidak di sisinya. Tapi kembali lagi, semua karena mimpi yang menghantuinya belakangan ini. Mimpi yang semakin lama semakin mempertebal tembok antara Naraya dan kedua orangtuanya.

Perasaan Naraya sungguh abu-abu. Di saat-saat seperti ini, ia membutuhkan Nadi. Tapi mengharapkan pangeran berkuda putih di malam hari adalah hal paling mustahil, bukan? Akhirnya, ia memutuskan membuka pintu pembatas antara balkon dan kamarnya. Sembari menikmati sisa-sisa air mata, pemandangan Kota Atlas di malam hari sedikit mengalihkan rasa pedih dalam hatinya.

Ia kembali teringat akan ucapan Bunda, bahwa Bunda ingin mendengar cerita darinya. Agaknya amarah itu berubah menjadi penyesalan. Ia merasa seolah-olah dirinya adalah makhluk paling egois yang pernah diciptakan. Ingin dimengerti, tapi tidak ingin mengerti.

Namun Naraya terlalu keras kepala untuk kembali turun dan meminta maaf pada Bunda. Itulah mengapa, hingga detik ini ia masih duduk di kursi yang berada di balkon kamarnya sembari memeluk lututnya.

Tok tok tok!

Ketukan di pintu kamarnya membuat Naraya terlonjak pelan.

"Ini Papa. Boleh masuk?"

Naraya diam. Tidak melarang, tidak pula mempersilahkan. Tapi bagi Papa, diam adalah jawaban 'ya'. Itulah mengapa, selang beberapa detik, pintu kamar terbuka, menampilkan laki-laki baik yang dapat menerima Bunda dan segala masa lalunya.

"Gimana? Sudah jauh lebih baik perasaanmu?" Seperti berbicara dengan angin lalu. Tanpa jawaban, tanpa hirauan. Papa duduk di kursi yang berapa tepat di depan Naraya.

"Melihat kamu dan Bunda berdebat seperti tadi, membuat Papa seolah-olah melihat Bunda berdebat dengan dirinya sendiri. Sama-sama keras kepala."

Naraya yang awalnya hanya menatap ke bawah, kini beralih pada Papa. Untuk pertama kalinya, ia berada dalam ruang yang hanya berisi ia dan Papa. Terlebih, Papa mengucapkan kalimat terpanjang yang pernah Naraya dengar.

"Kalau kamu menganggap kehidupan kami di sini bahagia tanpa kamu, itu salah besar, Nak. Mungkin dalam darahmu itu tidak mengalir darah Papa. Tapi semenjak Papa mengucap ijab kabul dan meminta Bunda di hadapan Tuhan, kamu adalah anak Papa. Sebenarnya ada rasa sakit tersendiri ketika kamu menganggap Papa ini orang asing yang berusaha memasuki kehidupanmu."

"Naraya nggak pernah mikir gitu."

"Baguslah. Berarti itu asumsi salah yang pernah Papa ciptakan. Tapi rasa sakit Papa tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan rasa sakit Bunda. Bunda adalah sosok yang melahirkan kamu. Dan Bunda adalah orang yang paling sedih ketika hari ulang tahunmu tiba, karena perayaan itu tidak bisa kita rayakan bersama-sama. Kamu boleh membenci Papa, tapi jangan membenci Bunda, ya?" Mendengar permintaan Papa, hati Naraya seperti dihantam batu besar yang siap meledakkan tangisnya. Dan lagi-lagi, isakan itu keluar dari bibirnya.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang