31. Tersurat Untuk yang Tersirat

1.5K 174 148
                                    

Terima kasih atas dua puluh ribu kali dibaca yang sudah sudi menghampiri dan menelisik sudut-sudut hidup Nadi.

Cerita ini didedikasikan untuk mereka yang tengah kehilangan dan percaya akan datangnya kebahagiaan.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺


Kalau saja ada kurva kehidupan, maka titik lelah tertinggi yang dicapai Nadi akan tergambar jelas pada titik di minggu, bulan, dan tahun ini. Kehilangan Bapak sudah cukup membuat dunianya terguncang, tapi menjalani kehidupan baru tanpa Bapak membuat dunianya porak poranda.

Sedikit banyak ia sudah memupuk ikhlas atas kepergian orang tersayangnya itu, tapi bukan manusia namanya jika tidak menangisi kehilangan meski sudah berjanji untuk ikhlas pada diri sendiri.

Azan subuh baru mereda. Air wudhu yang membasahi mukanya menjadi tanda bahwa ia harus segera melaksanakan kewajibannya. Ia tak ingin kehilangan waktu berdialog dengan Tuhannya melalui hatinya. Menitipkan pesan rindu untuk Bapak dan Ibu. Memohon keteguhan hati, agar ia lebih kuat lagi. Memohon pengampunan, atas pemikiran bodoh untuk mengakhiri diri sendiri belakangan ini. Intinya, Nadi sibuk dengan urusannya, urusan hatinya. Dan hanya menghadap Allah lah, ia dapat meringankan kesibukan-kesibukan itu.

Selesai melaksanakan dua rakaat, Nadi membuka jendela kamarnya. Kamar di lantai dua dengan luas tak seberapa, seketika berganti sirkulasi ketika daun jendela terbuka. Matanya tak lagi bertumpu di seisi kamar yang berisi kasur, lemari, meja belajar, dan beberapa baju yang menggantung di belakang pintu, tetapi beralih ke langit yang masih gelap. Meski gelap, Nadi bisa melihat, bahwa langit tengah menjanjikan matahari di balik pekatnya.

Beberapa jendela panti yang ada di seberang juga sudah terbuka. Pertanda penghuninya sudah siap menjalani hari ini. Ngomong-ngomong soal panti, ia harus siap menggantikan Bapak untuk sementara waktu. Sebetulnya ia tak siap. Anak SMA mana yang siap menanggung urusan panti asuhan yang tak hanya menghidupi satu anak? Tapi Nadi adalah Nadi, manusia yang berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari. Jika kemarin ia bisa membantu Bapak, mengapa sekarang tidak?

Nadi keluar dari kamarnya. Ia terdiam sebentar, menatap pintu di seberang kamarnya yang masih tertutup rapat. Ia ingin masuk, memastikan bahwa adiknya sudah melaksanakan kewajibannya. Tapi ia takut. Ia takut memperburuk keadaan adiknya. Ia takut memancing emosi Pradipta yang belum benar-benar stabil semenjak kehilangan Bapak. Sebenarnya tidak hanya Pradipta, tapi ia juga.

Maka dari itu ia memutuskan untuk menuruni tangga tanpa mengetuk pintu kamar Pradipta. Nadi lantas membuka jendela-jendela di ruang keluarga dan membetulkan beberapa bantal di sofa yang kurang benar letaknya.

Dunianya mendadak berhenti. Ketika tak sengaja menatap kursi rotan di depan meja tv. Ada kelebat Bapak di sana. Demi apapun ia tak takut. Sama sekali tidak menakutkan untuk bertemu Bapak. Tapi ketika ia mengembalikan tatapannya, kelebat itu fatamorgana. Hanya ilusinya ternyata.

"Ughh." Laki-laki itu mendengus. Sesak sekali rasanya. Seperti ada batu yang sengaja diletakkan di atas dadanya, dibiarkan begitu saja, dan memberati napasnya.

Ini bukan pagi horor yang berhantu. Tapi pagi yang menyatakan bahwa Nadi memang belum bisa menghilangkan bayang-bayang Bapak. Bayang-bayang Bapak masih di sana. Duduk di kursi rotan depan tv, sembari menunggu kopi hitam buatan Nadi menurunkan suhunya. Bayang Bapak masih setia menduduki hati dan logika Nadi.

Kali ini air matanya yang berbicara. Menegaskan bahwa ia masih ingin melihat Bapak duduk di kursi rotan itu. Ia tergugu sendu. Barangkali netra itu adalah sendang, yang tak henti-hentinya mengeluarkan air. Bedanya, ini bukan air minum yang melegakan, tapi air mata yang memilukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang