04. Dandelion

1.8K 523 201
                                    

Halo, hai, halo!
Selamat datang kembali di dunia Nadi.

Aku cuma mau menyampaikan, kalau ada perubahan jadwal update. Yang awalnya update setiap hari Sabtu, karena ada protes dari beberapa pengikut "Nadi" yang katanya kelamaan, akhirnya dengan amat sangat bermurah hati /huahaha/ aku ubah menjadi setiap hari Selasa dan Sabtu.

Terima kasih sudah menunggu kelanjutan dari cerita yang kutulis. Semoga cerita ini mampu membuat kalian selalu menetap dan menunggu.

With love,
Dyylaksara.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Pagi-pagi sekali Naraya sudah harus berada di sekolah. Hampir semalaman Naraya sulit memejamkan mata. Pikirannya tidak bisa difokuskan untuk istirahat. Antara gugup dan tidak sabar dengan acara besok pagi.

Kemudian fajar menyingsing. Membuat Naraya berkali-kali mengembuskan napas kasar. Gugupnya belum hilang. Ia naik ke lantai dua, tempat ruang band berada. Di sana sudah ada anggota Megaz formasi lengkap. Marka yang sibuk dengan gitarnya, Leo yang tengah membenarkan tali di bassnya, Lian yang sedang mencari stik drumnya, Zigas yang tengah memainkan lagu dengan pianonya, dan terakhir Shea, yang tengah asik dengan ponsel dan gitar yang ada di sebelahnya.

Baru saja Naraya akan merebahkan tubuh di sofa, Jea datang dengan tampilan berbeda. Naraya sempat melongo kaget. Jea yang biasanya berisik dan heboh, kini terlihat begitu anggun karena jas putih yang dikenakannya.

"Waduh, salah alamat ya, Mbak? Istana Negara ada di sebelah sana, Mbak, bukan di sini." Zigas menunjuk arah timur, menunjuk arah yang salah.

Jea memutar mata malas, "gue cari Naraya."

"Nggak cari gue?" tanya Leo.

Jea melotot kesal, "gak! Gue ada urusan sama Naraya!"

"Kenapa?" Naraya berjalan ke arah Jea, ia memutuskan keluar dari ruang band demi mendengar apa yang akan disampaikan Jea.

"Lo utang penjelasan ke gue!" ujar Jea. Naraya menaikkan satu alisnya.

"Omongan lo kayak lagi interogasi Leo Jeno yang ketangkep selingkuh."

Jea melotot lagi, agaknya mata itu ingin sekali keluar dari peredaran yang sudah seharusnya. Tangan kecil Jea mendarat empuk di punggung Naraya. "Lo jalan sama Nadi?”

“Gue nggak sengaja ketemu sama dia kemarin, di Kota Lama,” jawab Naraya.

“Terus? Kalian ngapain aja? Lo balik sama dia?”

“Mampir ke Filosofi, terus pulang. Udah gitu doang.”

“Aduh Naraya! Kan gue udah bilang jangan ada urusan sama Nadi!"

“Emang lo pernah bilang gitu ke gue?” Naraya mengangkat alis kanannya.

“Emang gue nggak pernah bilang gitu ke lo?” Dengan wajah tanpa dosa, Jea membalikkan tanya. Malas berdebat dengan Jea yang sudah pasti berujung debat tidak berguna, Naraya melangkah pergi.

“Anjir, gue belum selesai ngomong!”

“Lo daritadi bertele-tele kenapa, sih? Jadi sebenernya apa yang mau lo omongin?

“Pertama.” Jea mengangkat jari telunjuknya. “Nama lo lagi jadi bahan pembicaraan anak paskibra karena lo jalan sama ketua paskibra.”

“Astaga, nggak penting bang─“

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang