22. Sketsa Matahari Lewat Pupil Hitam Nadi

656 174 28
                                    

Kali ini sesuai jadwal kan? :p

Terima kasih sudah mendukung dan menikmati cerita ini. Jangan lupa vote dan comment di setiap paragrafnya. Semoga kebaikan selalu menyertai kalian semua.

With love,
Dyylaksara
━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Sekembalinya Naraya dari berganti pakaian, belum ada satu pun yang menyentuh makanan-makanan yang disediakan. Pondok sudah kembali bersih karena beberapa dari mereka membantu Taufan membersihkan tumpahan sup dan mangkuk yang jatuh. Melihat hal itu, Naraya jadi tak enak hati, sebab teman-temannya dan keluarga Pak Ruslan harus menahan laparnya hingga beberapa saat.

"Terima kasih ya, Inak," ucap Naraya sebelum menaiki tangga pondok.

"Sama-sama, anak cantik. Ayo, sekarang kita makan dulu, ya." Wanita yang tadi meminta Naraya untuk memanggilnya dengan sebutan 'Inak' pun tersenyum.

"Inak!!" seru Leo ketika Inak lebih dulu memasuki pondok. Laki-laki berkulit putih itu buru-buru menghampiri Inak dan memeluknya.

Duh! Naraya jadi semakin merasa bersalah. Karenanya, Leo dan Inak terpaksa menunda temu kangennya.

Inak tampak terisak di pelukan Leo. "Inak sangat rindu dengan Den Leo."

"Leo juga kangeeeen banget sama Inak."

Inak melepas pelukannya. Wanita itu menepuk pundak Leo beberapa kali. "Dulu kamu itu anakku yang paling kecil. Sekarang sudah jadi dewasa dan tingginya melebihi Inak."

Leo mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun. Suasana di pondok tampak sendu. Teman-temannya yang menjadi penonton pun ikut terharu melihat tangis Inak dan mata indah Leo yang berkaca-kaca. Leo dan keluarga Pak Ruslan tidak tampak seperti hubungan majikan dan abdinya. Mereka justru tampak seperti keluarga yang sudah lama dipisahkan oleh jarak.

Jea tampak mengulum senyum ketika melihat Leo yang menitikkan air mata ketika berada di pelukan Inak. Hampir 3 tahun menyukai Leo Jeno, namun ia tidak pernah melihat laki-laki itu menitikkan air matanya entah sebagai ekspresi kebahagiaan maupun kesedihan. Barangkali karena saling mencintai, apa yang dirasakan Leo, mampu dirasakan Jea juga.

Beberapa menit berlalu. Kini mereka semua disibukkan oleh makanan yang tersaji. Sedari tadi Juan menahan diri untuk tidak mengambil sesunduk Sate Bulayak yang ada di depannya, kini ia sudah leluasa bahkan diizinkan Pak Ruslan untuk menghabiskan semuanya. Ia tahu itu hanya kiasan semata, namun ia tetap bahagia. Untuk pertama kalinya ia memakan Sate Bulayak. Sate daging sapi itu tampak asing namun rasanya diterima oleh lidahnya-ah, bukan lagi diterima, ini mah doyan!

Sate Bulayak memiliki bentuk yang tak jauh beda dari sate-sate milik Indonesia. Yang menjadi pembeda adalah rasa dan kekhasannya, yaitu Bulayak. Bulayak merupakan lontong yang dililit daun anau.

"Ini apa deh?" tanya Juan pada Marka sebelum ia tahu bahwa itu adalah Bulayak.

"Hah? Gatau," jawan Marka, sembari menggelengkan kepalanya.

"Itu namanya Bulayak, mas," jawab Inak.

"Bulayak ada artinya nggak, Inak?" tanya Lian yang tiba-tiba nyambung.

"Bulayak itu artinya memutar." Inak mengambil bungkusan daun pisang yang berisi beras. "Karena cara membukanya terlebih dahulu menekan ujung kulit, lalu diputar," lanjutnya sembari mempraktikkan dan membuat ketiganya mengangguk mengerti.

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang