30. Sayu

623 133 13
                                    

Bapak adalah malaikat.
Tetapi kini malaikat itu sudah lelah menyembunyikan sayapnya.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Sejak kepergian Ibu, rasa-rasanya rumah adalah neraka. Bukan berarti isinya iblis semua, tapi benar-benar tak ada yang membuat Dipta betah. Selalu ada cek-cok dengan Bapak, dan lagi-lagi penyebabnya sama, Nadi Janaka.

Dulu, kalau ada Ibu, pasti Ibu yang menengahi. Mengusap pelan kepala Dipta, meski bibirnya terus mengatakan bahwa Dipta tak boleh begitu pada Bapak dan harus menyayangi Nadi seperti kakak kandungnya sendiri.

Dipta itu anak yang baik, kata Ibu. Dipta selalu memikirkan Adipati sebelum ia menghabiskan jajanan yang ia punya. Dipta selalu menawarkan bantuan pada Ibu ketika Ibu sedang membersihkan rumah dan panti. Dipta selalu membuatkan Bapak secangkir kopi jika Ibu tak ada waktu untuk sekadar singgah ke dapur. Dipta itu baik, tapi tidak pada Nadi.

Sejujurnya, Dipta juga tak paham apa yang memupuk kebencian di hatinya pada Nadi hingga sedalam ini. Yang ia tau, ia benci ketika Nadi mampu melakukan segalanya, mampu menjadi contoh yang baik bagi Adipati, mampu menjadi tenaga pengganti setelah Ibu tiada. Dipta benci karena Nadi adalah orang baik yang bisa segalanya.

Matanya yang mengantuk sebab baru bangun dari tidur, tampak mengawang menelusuri plafon kamar yang sebenarnya sama putihnya. Tak ada yang menarik dari objek yang tengah ia tatap, karena pikirannya memang tak ada di sana. Pikirannya terbang, memikirkan apa yang terjadi pada dirinya dan Bapak tadi pagi.

Ketika Dipta yang baru kembali dari lari pagi mengitari jalanan Fatmawati, ia melihat Bapak dan Adipati sedang berbincang dengan Nadi melalui video call. Meski tak sepenuhnya terlihat, tapi ia bisa menangkap bahwa kakak laki-lakinya itu baru selesai solat subuh dan berada di pinggir pantai. Nadi tampak tersenyum di layar ponsel itu.

Bahagia banget, ya? gumamnya dalam hati. Ia hanya tersenyum miring.

"Baru pulang? Dapat salam dari Masmu."

Dipta mendengus sebagai jawaban atas ucapan Bapak.

"Mau sampai kapan kamu begitu, Dip? Kalian berdua tumbuh di rumah yang sama, dengan orang tua yang sama. Nadi bahkan menyayangimu lebih dari dirinya sendiri. Kapan kalian bisa rukun? Bapak hanya ingin kalian saling menjaga satu sama lain."

"Pak, ini masih pagi. Tolong jangan ajak Dipta adu bicara."

Bapak diam. Memilih untuk mengalah. Meski sebenarnya pagi ini ada gundah yang tak dapat Bapak katakan. Tiba-tiba saja Bapak ingin melihat Nadi, Pradipta, dan Adipati saling berpelukan.

"Bapak kalau sayang sama Nadi nggak usah ajak-ajak Dipta," lanjut Dipta dengan santainya. "Dipta itu anak pertama. Dipta nggak berhak memanggil siapapun dengan panggilan mas atau kakak. Seharusnya Dipta satu-satunya Kakak buat Adi."

"Dipta."

"Kadang Dipta bingung. Sebenarnya anak kandung Bapak itu Pradipta Adi Jayandanu atau Nadi Janaka?"

"Bapak sama sekali nggak membeda-bedakan kalian, Dipta!"

"Memang! Itu dia masalahnya. Bapak nggak bisa bedain mana yang membutuhkan Bapak. Bapak nggak bisa bedain mana anak kandung dan mana anak─"

"Cukup, Pradipta! Kamu sudah besar. Kamu sudah dewasa. Bapak hanya ingin melihat anak-anak Bapak rukun." Bapak menghampiri Dipta, anak sulungnya.

Laki-laki dengan kulit yang tak lagi kencang tetapi masih menjadi pemilik senyum paling ikhlas itu berusaha meraih pundak Dipta. "Dengarkan Bapak."

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang