09. Dewi Penyembuhan

1.3K 336 80
                                    

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Entah sudah kali ke berapa Naraya terduduk di ruangan ini. Pemandangannya pun sama, pecahan vas bunga dan sobekan foto keluarga tersebar di lantai tempat ia terduduk lemas.

"Seharusnya kamu mati." Kalimat yang ia dengar pun sama persis. Tapi bedanya, kali ini jauh lebih jelas. "Seharusnya saya tidak membiarkanmu hidup selama ini. Jangan bernapas! Saya benci napas itu!"

Naraya tergugu di tempatnya. Air mata semakin deras mengalir di pipi. Ia ingin berbicara tapi tak pernah bisa. Sekuat tenaga ia berusaha bergerak, tapi hasilnya tetap sia-sia.

Puncak yang dibenci Naraya pun datang. Tidak ada yang bisa ia lakukan ketika tangan-tangan itu membekuk dirinya. Semakin lama semakin kasar. Kedua tangan itu mencekik lehernya. Kedua mata yang ia tatap, terlihat nyalang ingin segera menghabisi nyawanya. Bahkan ketika di ujung maut pun, Naraya tidak bisa apa-apa. Berbicara saja tidak sanggup, apalagi melawan. Sejak detik ini, hingga detik-detik yang akan datang nanti, Naraya sudah bisa menebak seperti apa akhir hidupnya. Mati tragis di tangan seseorang yang begitu ia percaya.

"Ayo mati." Kata-kata itu keluar dan bergetar. "CEPAT, KAMU HARUS MATI. KAMU HARUS MATI!"

Teriakan dalam mimpi itu membuat Naraya terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Air mata sudah lancang membasahi pipi bahkan sebelum diizinkan.

Malam ini, Naraya menangis lagi. Naraya jauh lebih hancur dibanding malam-malam sebelumnya. Rasa sesak akibat cekikan tangan itu masih terasa jelas. Bahkan untuk menelan air pun, sakit itu terasa nyata dan benar adanya.

"Hanya mimpi, tapi kenapa rasanya sakit sekali?" Di sela tangisnya, Naraya mengusap lehernya. Rasa sakit dari mimpi itu terasa begitu nyata.

Dengan mata terpejam penuh dendam, ia berkata, "Ayah, kenapa aku harus mati?"

Lebam di leher yang tercipta beberapa tahun lalu, tak sepadan dengan rasa sakit yang membekas dalam hatinya hingga saat ini. Menangisi pun rasanya percuma, karena air mata tidak bisa memperbaiki memori dalam otak yang sudah rusak.

Dalam suatu kehidupan, kalau kamu tidak menemukan kebahagiaan, berarti kamu kurang bersyukur, Naraya.

Tiba-tiba kalimat yang diucapkan Nadi beberapa hari lalu terlintas jelas dalam otaknya. Atau barangkali ucapan laki-laki itu adalah jawaban paling benar atas segala resah yang ia terima dalam hidupnya? Tapi, bagian mana yang harus disyukuri dalam cerita hidupnya yang begitu kelam?

Naraya menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Ia mengulangi hingga beberapa kali. Ketika rongga dada sudah jauh lebih mumpuni untuk menghadapi detik yang akan berjalan, Naraya mulai fokus lagi pada apa yang ia pikirkan.

Meski waktu menunjukkan pukul satu dini hari, tak lantas membuat Naraya mengurungkan niatnya. Ia berjalan ke meja belajar dan duduk di bangkunya. Perempuan itu mencari sesuatu di dalam laci kecil yang berada di atas meja belajarnya.

Secarik kertas dari Papa.

Setelah menemukan apa yang ia cari. Entah sudah kali ke berapa Naraya menatap tulisan tangan Papa yang tertera di sana. Tidak ada yang menarik, selain barisan angka dan huruf yang tertulis rapi. Tanpa memikirkan ini sudah pukul berapa, Naraya tetap mencatat nomor itu pada ponselnya. Menyimpannya dengan nama "Panacea"*) sesuai petunjuk yang Papa berikan.

Naraya mengernyit ketika membaca ulang nama itu. Panacea? Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Matanya menerawang, pikirnya menjelajah pada sebuah ruang di dalam otak yang seringkali disebut dengan ingatan.

"Ah, Panacea." Naraya cepat-cepat nama itu di dalam kolom pencarian googlenya untuk memastikan kebenaran ingatannya. "Bener ternyata. Dalam mitologi Yunani, Panacea adalah Dewi Penyembuhan."

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang