11. Simpang Lima dan Kecewa

1K 276 62
                                    

Setelah dua minggu rehat dan nggak nulis cerita Nadi sama sekali, akhirnya di hari Selasa minggu ini, Nadi muncul lagi!

Selamat berkecimpung kembali dengan dunia Nadi.

With love,
Dyylaksara.

━❍────────
↻ ⊲ Ⅱ ⊳ ↺

Bel pulang sekolah melejit dan menggugah kegembiraan seantero sekolah. Setelah mencangklong tasnya, Nadi tidak buru-buru menuju parkiran untuk bertemu Si Biru seperti biasa. Melainkan, ia malah berjalan ke arah koridor kelas IPS. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya keluar dari pintu kelas XI IPS 2. Naraya. Perempuan yang memiliki hobi gugup di depan Nadi itu keluar dari kelas dengan tampang lesu.

“Naraya!” Panggilan dari Nadi membuatnya menoleh. Alih-alih berhenti dan melempar senyum seperti kebiasaannya ketika bertemu Nadi, Naraya malah buru-buru pergi.

Tak salah lagi. Naraya memang sengaja menghindari Nadi seharian ini. Mulai dari tadi pagi, ketika mereka bertemu di depan gerbang sekolah, Naraya juga lebih memilih berlari daripada membalas sapaan selamat pagi dari Nadi. Juga pada istirahat pertama, mereka bertemu lagi di perpustakaan. Nadi yang baru saja mengembalikan novel pinjamannya dan Naraya yang tengah mencari kamus Bahasa Inggris untuk pelajaran setelah istirahat, padahal Nadi jelas-jelas melambaikan tangan kepadanya, tapi Naraya lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat. Ternyata hari di mana tidak ada senyum Naraya, merupakan hari yang sama sekali tidak dinanti oleh Nadi.

Dan sekarang, begitu lagi. Tapi Nadi kali ini tidak menyerah, ia lebih memilih membuntuti Naraya daripada dianggap tidak ada oleh gadis itu. “Naraya! Tunggu.” Hingga akhirnya, tangan Nadi berhasil meraih tas cokelat yang tengah dicangklong Naraya.

“Kenapa?” tanya Naraya dengan nada sedatar mungkin.

“Kamu yang kenapa,” ujar Nadi.

“Aku nggak kenapa-kenapa."

“Mau sampai kapan kamu hindarin aku?”

Naraya terdiam. Bahkan matanya pun seolah tak ada nyali untuk menatap Nadi. “Naraya …,” panggil Nadi sekali lagi.

“Aku malu, Na …,” jawab gadis itu lirih.

“Malu?”

“Aku malu karena sudah menceritakan semua pada kamu. Aku malu karena masa laluku. Aku malu dan … dan aku takut. Aku takut kalau sewaktu-waktu kamu pergi dengan alasan masa laluku yang menyedihkan.”

Mendengar jawaban Naraya, Nadi mengusap wajah kasar. Meski ada rasa kecewa di dalam dada, namun laki-laki itu lebih memilih untuk tidak memperlihatkannya. “Naraya, dengerin aku.” Tangan Nadi memegang kedua bahu Naraya. Ia juga menaikkan wajah perempuan itu, karena sedari tadi Naraya hanya tertunduk kaku tanpa berani menatap matanya.

“Kamu termasuk dalam orang-orang hebat yang pernah aku kenal. Menjadi seperti kamu itu nggak mudah, Naraya. Dan keputusanmu untuk bercerita kepadaku adalah keputusan yang membuatku merasa jauh lebih berguna, terutama dalam hidupmu.” Nadi mengusap puncak kepala Naraya perlahan.

“Bahkan dengan masa lalu dan kelakuan orang tuaku yang seperti itu?” tanya Naraya.

“Ya. Karena masa lalu dan orang tuamulah yang menjadikanmu sekuat dan sehebat sekarang.”

“Tapi tetap saja, aku belum siap untuk terbuka pada orang lain. Terlalu menyakitkan, Na. Terlalu memalukan. Aku malu, jika suatu saat mereka menertawakan hidupu yang menyedihkan. Aku takut, jika orang-orang di sekitarku mau menemaniku karena rasa kasihan, bukan ketulusan.”

Nadi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang