28. Forgiven

2.8K 353 16
                                    

If you hate a person, then you're defeated by them.

-Confucius-

.

.

.

Aria menatap wajah tidur Mario sambil tersenyum sendiri.

Tadi setelah mereka memutuskan untuk tidur bersama malam itu, keduanya langsung masuk ke kamar Mario. Kamar itu ukurannya lebih luas dari kamar Aria dengan ukuran ranjang yang lebih besar. Selepas mengganti baju, Aria menyusul Mario yang sedang sibuk menonton televisi di atas ranjang. Mario langsung menariknya mendekat hingga Aria menyandarkan kepalanya di dada Mario. Telinganya mendengar dentuman jantung Mario yang sangat menenangkan.

Mario membuka obrolan mereka. "Tadi Mama menelepon untuk mengajakku untuk mengunjungi makam Papa."

Aria mengerjap. Dia tidak menduga kalau Mario akan membicarakan hal ini dengannya. "Kapan?"

"Minggu depan adalah hari peringatannya," Mario menyampirkan lengannya di pundak Aria. "Mama menyuruhku untuk mengajakmu juga."

Aria mengangguk. "Boleh saja, aku kosong minggu depan. Kita bisa pergi setelah aku selesai kursus memasak."

Mario terdiam sejenak. "Masalahnya, aku tidak pernah mengunjungi makam Papa satu kali pun sejak dia disemayamkan."

Kalimat itu membuat Aria menegakkan tubuhnya. Dia berbalik dan menatap Mario dengan bingung. "Kenapa kamu tidak pernah berkunjung ke makam ayahmu?"

Mario menggeleng. Tatapannya masih terarah pada televisi yang masih menyala di depan ranjang. Tapi Aria tahu dia tidak sedang menontonnya. "Aku tidak pernah mau ikut karena aku punya alasanku sendiri. Tanpa mengunjungi makam ayahku, aku sudah sangat sering memimpikannya. Bagaimana jika sampai aku mengunjungi makamnya? Aku pasti akan merasa seperti kembali ke masa lalu lagi."

Mendadak tangan Aria terulur untuk mengusap punggung Mario. Tubuh Mario menegang tiba-tiba tapi dia tidak menghindar. Aria memang sengaja mengusap tempat bekas luka cambukan ayah Mario. Aria tersenyum tipis meskipun rasanya sekarang dia ingin menangis membayangkan penderitaan Mario di masa lalu. "Apa rasanya masih sakit?" Gumam Aria pelan.

Mario menggeleng. "Lukanya sudah lama sembuh, hanya bekasnya saja yang tidak bisa hilang."

"Jika bekas luka fisikmu saja sudah sembuh, maka kamu harus belajar menyembuhkan luka dalan hatimu juga," Aria mengusap punggung Mario dengan lembut. Perlahan dia bisa merasakan tubuh Mario sudah tidak kaku lagi. "Aku tidak akan memaksamu pergi. Tapi aku rasa tidak ada salahnya jika kamu mempertimbangkan untuk datang. Aku tidak ingin kamu terus tenggelam dalam dendam kepada almarhum ayahmu. Aku ingin kamu belajar untuk memaafkannya."

Kali ini Mario menatap Aria dengan serius. Matanya terlihat mengantuk tapi sepertinya hal ini tetap membebani pikirannya. Seperti dia harus mengungkapkannya sebelum tidur supaya dia bisa tidur dengan pulas. "Bagaimana jika aku tetap tidak bisa memaafkan Papa? Kamu tidak mengerti, ayahku benar-benar menyiksaku sewaktu aku kecil dan hal itu benar-benar aku ingat dengan jelas sampai hari ini di kepalaku."

"Tidak apa-apa," Aria menggeleng pelan. "Memaafkan memang jauh lebih sulit dari minta maaf. Tapi ketika kamu bisa memaafkan seseorang, perasaanmu akan terasa sangat lega sekali. Kamu akan punya ruang untuk merasakan sesuatu di luar perasaan dendam. Percayalah, aku sendiri sejak dulu selalu berusaha melepas semua dendamku. Itulah alasan kenapa aku bisa hidup sampai hari ini."

Mario mengangguk. "Aku akan memutuskan saat kita pulang nanti."

Aria mengangguk kemudian menguap. Dia melihat Mario langsung meraih remote televisi untuk mematikan tayangannya. Sebelah tangan Mario menarik selimut untuk mereka berdua. Aria menahan napas ketika Mario menariknya mendekat untuk memeluknya. Wajah Mario terbenam dalam rambut Aria yang untungnya baru Aria cuci tadi sore. Dalam hitungan menit di dalam keheningan di kamar itu, Aria bisa merasakan pelukan Mario mengendur dan napasnya mulai teratur.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang