In any given moment we have two options : to step forward into growth or to step back into safety.
-Abraham Maslow-
.
.
.
Aria tetap tidak siap ketika melihat ukuran rumah Mario.Dalam kepalanya dia berusaha membayangkan luasnya rumah Hartono Tjokrokusuma yang dia lihat di internet. Dia tahu kalau rumah Mario tidak akan jauh berbeda. Tapi jika rumah di depannya ini masih lebih kecil dibandingkan rumah kakek Mario, Aria rasa dia tidak akan pernah siap datang ke sana. Karena saat ini di depannya berdiri sebuah rumah yang cocok berada dalam katalog majalah. Bahkan Aria yang sudah terbiasa melihat rumah besar karena pekerjaannya sebagai desainer interior pun tetap kagum dengan rumah itu.
Salah satu alasannya karena dia belum pernah mendesain isi rumah yang sebesar ini sebelumnya.
Mobil Mario berhenti di depan jalan setapak untuk masuk ke dalam rumah. Dia ikut keluar dari mobil bersama Aria setelah mengambil buket bunga yang Aria beli di jok belakang. Tangannya menyerahkan kunci mobil pada seorang petugas keamanan yang tadi membuka gerbang rumahnya. Petugas itu langsung masuk ke dalam mobil Mario dan membawa mobilnya ke bagian belakang. Mario berjalan mendekat ke arahnya dan meletakkan tangannya yang bebas di pundak Aria. Gerakan itu memang terkesan kasual, tapi juga cukup untuk mendeklarasikan hubungan mereka.
Mayra malah tidak terlihat gelisah sama sekali. Dia sibuk bertepuk tangan dan tertawa lepas. Sepertinya dia merasa gembira karena tahu ayahnya seorang laki-laki mapan dengan rumah besar. "Ba ba! Ya ya!" Pekiknya senang di dalam gendongan Aria. Mario terkekeh pelan melihat antusiasme putrinya. Akhirnya, mereka bertiga berjalan masuk ke dalam rumah raksasa itu.
Pintu putih besar dengan tinggi lima meter itu terbuka dengan sendirinya. Tapi ternyata yang membuka pintunya adalah seorang wanita paruh baya yang tidak pernah Aria lihat sebelumnya. Wanita itu tersenyum hangat sambil menatap Aria dan Mayra bergantian. "Selamat datang, Nona Aria," sapanya sambil berjalan mendekat. Matanya berbinar ketika melihat Mayra yang tertawa. "Selamat datang juga, Nona Mayra."
"Aria, ini Bibi Hani," Mario memperkenalkan sambil tersenyum. "Dia adalah pengasuhku sejak aku kecil. Sekarang dia juga penanggung jawab terbesar atas kebersihan dan makanan yang tersaji di rumah ini."
"Senang bertemu dengan Anda," Aria menyalami tangan Bibi Hani dengan seulas senyum. "Tapi tolong panggil saya Aria dan Mayra saja."
"Saya yang seharusnya bilang begitu," Bibi Hani tertawa pelan. "Apa Aria keberatan jika aku menggendong Mayra?"
Aria menggeleng kemudian menyerahkan Mayra ke tangan Bibi Hani. Mayra juga tidak rewel dalam gendongannya. Mata besarnya sibuk menatap isi rumah Mario dengan takjub. Aria tidak akan menyalahkan putrinya. Isi rumah Mario bahkan terlihat lebih indah dari sisi luarnya. Semua interior rumah Mario terlihat mewah dan berkelas tinggi dengan sentuhan minimalis. Tidak banyak ornamen warna emas dan silver, tapi banyak dipadukan warna kayu, putih, hitam dan juga krem yang berkesan modern.
Rumah ini mengingatkannya akan rumah yang Aria desain untuk Mario di Sydney. Warna-warna monoton itu terasa familiar sekarang. Aria mengerjap ketika inspeksi rumahnya terhenti karena ada dua orang perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya dan Mario. Aria langsung tersenyum lebar ketika ibu Mario datang dan mengulurkan tangannya. Aria langsung menyambutnya untuk berpelukan singkat dengan wanita itu.
"Akhirnya kamu datang juga!" Balas ibu Mario dengan antusias setelah melepaskan pelukan mereka. "Kami sangat senang kamu akhirnya memutuskan untuk datang hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer