4. Musk and Vanilla

3.3K 402 6
                                    

I wonder, how much love in this world hides behind silence?

-The Random Stories-

.

.

.


Aria ingin selalu tampil cantik dan rapi di depan laki-laki tampan.

Menurutnya, tampil cantik dan rapi adalah salah satu caranya menghargai dirinya sebagai wanita. Penampilannya biasanya bisa membuat kepercayaan dirinya bertambah. Itulah kenapa dia selalu berdandan sebelum pergi ke bar atau ke kantor. Tapi dia tidak pernah berpikir untuk berdandan saat mengunjungi Affetto House. Karena memang tidak ada gunanya dia tampil cantik sebagai sukarelawan di dalam panti asuhan. Dia selalu hanya memakai pakaian kasualnya dan langsung melaju ke panti asuhan itu karena tujuannya untuk membantu.

Hari ini adalah kedua kalinya dia menyesal dia tidak berdandan. Wajahnya bersih dari make-up dan rambutnya tergerai asal. Dia bahkan tidak sempat mencatok rambutnya atau sekedar menambahkan pewarna bibir supaya tidak terlihat pucat. Semua ini adalah alasan kenapa dia sangat minder berdiri di tempatnya sekarang. Karena saat sedang menyapu halaman Affetto House, sebuah mobil Porsche yang tidak asing berhenti di depan pekarangannnya. Tubuhnya menegang ketika melihat seorang laki-laki berjas hitam keluar dari dalam mobil itu.

Bukan salahnya kalau dia minder dan gugup saat ini 'kan? Pemilik Affetto House itu selalu datang tanpa peringatan. Setiap datang dia juga selalu terlihat rapi, seperti kebanyakan CEO perusahaan ternama yang Aria lihat di serial televisi. Rambut tersisir rapi ke belakang, jas hitam yang senada dengan dasinya dan sepatu cokelat mengkilat cukup membuat Aria semakin mematung di tempatnya berdiri. Seharusnya dia berlari masuk sekarang, tapi tubuhnya kaku. Dia hanya bisa meremas gagang sapu sambil menatap laki-laki itu dengan wajah bodoh dengan rasa bingung dan kaget.

"Ini undangan yang kamu minta kemarin lalu," Mario menyodorkan sebuah amplop panjang berwarna cokelat di depan Aria. Dia bahkan tidak mengucapkan selamat pagi atau hai sama sekali. Sepertinya Aria memasang wajah bingung karena detik berikutnya laki-laki itu mengernyit. "Kamu serius mau ikut 'kan? Atau kemarin kamu hanya bercanda saja?"

"Aku tidak bercanda," balas Aria buru-buru lalu merebut undangan itu dari tangan Mario. Seakan-akan takut dia kembali memasukkan surat undangan itu ke dalam saku jasnya. "Terima kasih ya," gumam Aria pelan.

Mario mengangguk. "Tidak perlu berpakaian terlalu formal. Ini bukan acara yang resmi."

Alis Aria terangkat sebelah. "Kamu tidak akan memakai jas untuk acara ini?"

"Kemungkinan aku hanya akan memakai kemeja," Mario mengangkat bahunya. "Oh, aku membawa dua dus buku yang berhasil aku kumpulkan dari donasi orang kantorku yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Aku harap itu bisa membantu."

Aria dibuat tercengang lagi ketika Mario dengan sukarela mengangkat dus itu ke perpustakaan mereka di lantai tiga. Ketika Mario ingin membuka dusnya, Aria buru-buru menghentikannya. "Aku bisa melakukannya dengan Hannah nanti. Jangan kotori jas kerjamu."

Kepala Mario menunduk ke arah jasnya. "Apa aku perlu membuka jasku dulu?"

"Tidak perlu!" Pekik Aria cepat. Dia tidak butuh aroma maskulin Mario tersebar di sekitar perpustakaan itu lebih lama lagi. "Kamu bisa langsung pergi. Terima kasih sudah membantu."

Mata Mario berkedip kaget beberapa kali. "Kamu mengusirku?"

Aria menggigit bibir bawahnya keras. Dia baru sadar dia memang mengusir Mario lewat perkataannya. "Maaf, bukan begitu," balas Aria panik. Hanya saja, hari ini dia terlihat sangat kusam dan lelah. Dia tidak bisa tidur semalaman, menghasilkan mata panda di bawah matanya. Dia juga tampil tanpa make-up dengan kaus kebesaran dan dia bahkan belum keramas. Tadi dia juga baru saja selesai membersihkan aula. Keringatnya masih menempel di atas kulitnya dan dia takut tubuhnya beraroma tidak sedap. Aria benar-benar tidak percaya diri berada di sekitar Mario hari ini.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang