Betrayal starts not because of big secrets, but with small lies.
-Shalini Joshi-
.
.
.
Mario tersenyum sambil berjalan keluar dari mobilnya.Matanya menatap sosok Aria yang sedang berdiri di depan pintu rumah kontrakannya. Kepala Aria menoleh ke arahnya ketika mendengar suara bantingan pintu mobil Mario. Mayra menyadari kedatangan ayahnya duluan dan langsung berteriak girang. Suara itu membuat Aria tersenyum dan akhirnya matanya bertemu dengan mata Mario. Tangan Mario langsung meraih dua buah koper besar yang ada di sisi tubuh Aria. Dia menarik kedua koper itu ke dalam bagasi mobilnya.
Setelah malam pesta itu, Aria akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumahnya. Meskipun awalnya Aria terlihat ingin membantah tapi Mario sudah berucap duluan. "Aku hanya ingin kalian aman. Media kemungkinan besar akan mulai menyerangmu dan bukan hal aneh kalau mereka mengunjungi rumahmu. Jika kamu tinggal bersamaku, aku bisa mengontrol semuanya," Mario menggeleng. "Lagipula untuk apa kamu tinggal sendirian? Sebentar lagi kita akan menikah 'kan?"
Aria yang tidak punya kalimat balasan akhirnya menurut. Dia tidak bisa berdebat karena ucapan Mario memang benar. Seminggu kemudian, disinilah mereka sekarang. Mario menutup bagasi mobil dan melihat Aria masih berdiri di depan pagar rumahnya. Mario mendekat padanya kemudian membuka pintu mobil. "Barang-barang berhargamu sudah kamu pisahkan? Barang besar lainnya akan dibawa terpisah dan diantar ke rumahku."
Aria berdiri di depan pintu mobil yang terbuka sambil terlihat berpikir. "Hanya ada dua lukisan besar yang harus dibawa. Sisanya tidak perlu dibawa."
"Lukisan?" Mario kembali menyambung pembicaraannya ketika mereka berdua sudah duduk di dalam mobil. Dia menatap Aria sebentar sebelum mencubit pipi tembam Mayra. Sentuhan itu dibalas dengan pekikan senang Mayra. "Aku baru tahu kamu tertarik pada lukisan."
Aria terdiam sejenak. Mario meliriknya sekilas dan gadis itu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum menjawabnya. "Ayahku melukis dua gambar itu."
Mario terlihat butuh waktu untuk memproses jawaban Aria. Kepalanya berusaha mengingat kembali informasi pribadi Aria yang dia dapat dari investigatornya dulu. "Ah, iya ya. Ayahmu memang seorang seniman."
Aria mengerjap beberapa kali sebelum berdeham. "Aku minta maaf karena belum sempat bercerita. Tapi ayahku memang seorang seniman. Mungkin kamu juga mengenal namanya karena dia cukup populer," Aria melirik Mario sekilas. "Aku yakin kamu sudah tahu, tapi nama ayahku adalah George Palmer."
Mario menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap Aria dengan tatapan kaget. Mario bahkan baru sadar bahwa nama belakang Aria adalah Palmer. Mario terlalu fokus pada informasi pribadi Aria yang lain untuk sadar bahwa George Palmer adalah salah satu pelukis favoritnya. Aria terlalu murah hati saat bilang bahwa ayahnya cukup populer. Mario bahkan sering mendengar namanya di media dan televisi. Mario bahkan mendengar harga lukisannya di setiap pameran sangat fantastis. Bahkan Mario membeli satu lukisan dari George Palmer untuk dia letakkan di ruang kerjanya.
"George Palmer," bibir Mario berucap pelan, seperti sedang memproses sesuatu di kepalanya. Nyatanya, kepalanya masih sulit menerima informasi yang Aria berikan barusan. "Aku bahkan tidak ingat nama belakangmu adalah Palmer."
Aria mengernyit tidak mengerti. "Untuk apa kamu menepikan mobilmu?"
"Aku harus memproses informasi bahwa aku akan menikah dengan putri George Palmer," Mario menggeleng tidak percaya. "Aku salah satu penggemar berat karyanya. Aku punya satu lukisan milik ayahmu di rumahku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer