There comes a day when you're gonna look around and realize happiness is where you are.
-Chief Tui, Moana-
.
.
.
"Kok belum tidur?"Mario menunduk ketika mendengar suara mengantuk Aria. Mario baru saja masuk ke dalam kamar setelah selesai bekerja. Malam ini pun Aria tidur bersamanya, sesuai permintaan Mario. Aria bilang dia hanya setuju melakukan hal ini selama mereka ada di Sydney. Ketika kembali ke rumah, Aria ingin tidur di kamar Mayra sampai mereka sah menikah nanti. Dia bilang dia tidak mau membuat ibu Mario curiga dengan apa yang mereka lakukan dalam satu kamar berdua.
Mario menyetujui permintaan itu meski dengan berat hati. Selama beberapa hari ini dia tidur dengan pulas sambil memeluk Aria. Dia bahkan tidak bermimpi atau merasa sesak sama sekali. Jika bukan karena alarm, Mario sudah pasti tidak bangun untuk bekerja. Paginya, Aria ikut bangun bersamanya untuk membuatkannya kopi atau sarapan. Mario membayangkan hal ini akan terjadi setiap hari di masa depan dan rasanya dia semakin semangat untuk merencanakan pernikahannya dengan Aria.
Tapi saat ini ada hal lain yang mengganggu pikirannya. Hal itu bahkan membuat Mario terus menatap langit-langit kamar tanpa ada niat untuk tidur. Meskipun Aria saat ini sedang tidur di sampingnya, hal ini tetap mengganggunya. Mario menatap jam digital di nakas dan sadar bahwa dia sudah melamun selama tiga puluh menit. Aria yang sangat peka berhasil menyadari kegelisahannya itu.
Mario mendesah pelan sambil mengelus rambut Aria di sampingnya. "Maaf, ada yang aku pikirkan sejak tadi," gumamnya sambil berusaha memejamkan matanya yang sebenarnya sangat lelah karena dia sibuk bekerja seharian.
"Soal apa?" Tangan Aria ikut mengelus lengan Mario.
"Soal Papa," Mario terdiam sejenak. "Karena pertemuanmu dengan Gia tadi, aku jadi kepikiran soal Papa."
Aria langsung menumpukan lengannya di atas bantal. Matanya mencari sesuatu di mata Mario. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku tidak pernah berpikir untuk memaafkan perbuatan Papa," Mario tersenyum kecil. "Kupikir selama dia sudah tidak ada di hidupku, aku tidak perlu melakukannya. Untuk apa aku memaafkannya?"
Aria tidak menjawab, dia hanya menempelkan pipinya di pundak Mario.
"Tapi setelah melihat kalian berdua tadi, ternyata memaafkan apa yang terjadi di masa lalu sangat penting," Mario terdiam sebentar. "Karena dengan memaafkan, kamu bisa terlihat lebih lega. Seperti semua beban yang tanpa sadar kamu pikul sendirian akhirnya terangkat."
"Iya," gumam Aria pelan. "Rasanya memang begitu."
Mario memejamkan matanya sejenak. Dia membayangkan dirinya yang dulu. Dirinya yang hanya bisa menerima apa yang ayahnya lakukan. Selama ini, dia pikir dia hanya menerima semua dengan pasrah. Tapi ternyata kejadian itu berhasil mengganggu kestabilan jiwanya beberapa tahun kemudian. Selama beberapa tahun belakangan, Mario membiarkan dirinya dikontrol dengan trauma dan rasa dendam terhadap ayahnya.
Jika saja dia tidak bertemu dengan Aria, dia tidak akan memikirkan hal ini. Jika tidak ada Mayra, Mario juga tidak mungkin bisa bertemu lagi dengan Aria dan memeluknya seperti sekarang. Selama ini, Mario hanya terfokus dengan satu perspektif saja. Dia lupa untuk melihat hidupnya dari sisi yang berbeda. Mario lupa bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Mendadak dia teringat dengan ucapan Gavin saat dia berkunjung ke kantornya dulu.
"Kamu akan berhasil suatu hari nanti, mungkin tidak sepenuhnya, tapi sedikit demi sedikit. Sebenarnya Zoya berperan penting dalam penyembuhanku. Suatu hari kamu juga akan menemukan seseorang seperti Zoya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer