Never assume that loud is strong and quite is weak.
-Anonymous-
.
.
.
Mario benci terlihat lemah di depan orang lain.
Sejak kecil, dia terbiasa menyembunyikan lukanya. Bahkan ketika ibunya secara tidak sengaja melihat bekas pukulan ayahnya yang meleset dan berbekas di tangannya. Mario akan tersenyum pada ibunya dan bilang bahwa luka itu muncul karena dia terjatuh saat bermain di sekolah. Itu semua dia lakukan supaya ibunya tidak terlihat sedih dan harus bertengkar dengan ayahnya. Mario sengaja berbohong supaya tidak ada yang mengasihaninya.
Dia tidak percaya bahwa barusan dia baru saja mengalami panic attack. Di depan Aria dan Mayra, orang yang ingin dia lindungi. Bagaimana bisa dia melindungi dua orang itu jika dia terlihat lemah di depan mereka? Penyakit lama itu kembali muncul karena tadi Mario diliputi rasa takut yang hebat. Rasa takut itu mencekik lehernya hingga dia kesulitan bernapas. Bahkan dia kesulitan membuka matanya sendiri sampai Aria memeluknya.
Dia tidak pernah tahu bahwa sebuah pelukan bisa menenangkan dirinya. Rasanya Mario hampir tidak pernah dipeluk. Tubuhnya tidak lagi bergetar dan dia bisa langsung bernapas dengan normal. Suaranya juga sudah tidak terdengar terbata. Karena itu, dia langsung memeluk Aria lagi ketika dia keluar dari kamarnya. Pelukan itu sekali lagi membuat kerja jantungnya kembali normal. Apa ini yang orang-orang sebut sebagai rasa nyaman?
Dia kembali fokus pada pertanyaan terakhir Aria. Perempuan itu saat ini sedang menatapnya sambil menunggu jawaban. Mario rasa tidak ada gunanya jika dia berbohong sekarang. "Karena aku merasa takut kamu akan berubah pikiran dan meninggalkan aku," jawabnya jujur sambil mengeratkan kembali pelukannya. "Aku takut kamu pergi bersama dengan Mayra."
"Aku tidak mungkin-"
"Kamu pernah melakukannya satu kali," Mario memejamkan matanya lagi. "Aku tidak ingin hal itu kembali terulang."
Aria mendesah pelan dalam pelukannya. Tangan kecilnya kembali mengusap punggung lebar Mario. "Aku tidak akan pergi lagi," ucapan Aria terbenam di baju Mario.
"Lalu tadi itu kamu kenapa?" Mario merenggangkan pelukannya tapi tidak melepaskannya. Dia menatap mata Aria yang saat ini berjarak sangat dekat dengannya. "Jangan bilang bukan karena apa-apa. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi hari ini."
Aria terlihat ragu sebelum berbicara. "Tadi aku pergi ke mall bersama dengan Zoya dan Niken."
Mario mengangguk. Dia sudah mendengar hal itu dari Aria kemarin.
"Niken mampir ke sebuah butik. Aku dan Zoya ikut masuk ke dalam," Aria menggigit bibir. "Aku melihatmu di dalam butik itu bersama dengan seorang perempuan."
Mario sekarang terlihat bingung. "Kamu melihatku? Kenapa kamu tidak memanggilku?"
"Kamu sedang bersama dengan seorang perempuan. Kamu bahkan membiarkannya menggandeng tanganmu," ucap Aria sekali lagi. Matanya melirik tas belanja yang tadi Mario bawa. "Aku melihatnya memilihkan baju anak-anak. Dugaanku, bajunya ada di dalam tas itu 'kan?"
"Iya, memang benar-"
"Aku tidak mau menerima pemberian pacarmu, apalagi barang itu untuk Mayra," potong Aria kesal. Kini dia menatap Mario dengan tatapan sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer