7. Fish and Chips

3.1K 371 7
                                    

What we do now echoes in eternity.

-Marcus Aurelius-

.

.

.


Mario tidak bisa berhenti menatap sosok itu.

Sosok yang dia maksud sedang berdiri di depan stand fish and chips. Mulutnya sedang sibuk berbicara dengan pemilik stand. Bibirnya sesekali tertawa sambil membicarakan sesuatu yang tidak bisa Mario dengar dari jaraknya berdiri sekarang. Rambutnya melambai karena tertiup angin Sydney Harbor yang berhembus cukup kencang hari itu. Tidak lama kemudian gadis itu melambaikan tangannya sambil berpamitan sebelum lanjut berjalan ke stand berikutnya. Dia kembali berbicara dengan orang di stand selanjutnya tanpa jeda.

Mata Mario terus mengikutinya seperti magnet berjalan.

Dehaman ringan di sampingnya membuat Mario menoleh. Sosok sekretarisnya berdiri dengan sebelah alis terangkat. Dia menatap ke arah Mario melamun sebelumnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas ketika sepertinya dia berhasil mengambil kesimpulan. "Bukankah itu adalah gadis yang Bapak ajak ke acara wine tasting tempo hari?" Tanya Sarah dengan alis terangkat.

Mario hanya mengangguk singkat.

"Bapak menunjuknya untuk jadi koordinator?"

Mario mengangguk, lagi.

Sarah bergumam. "Tidak biasanya Bapak mempercayakan masalah seperti ini pada orang lain."

Mario melirik Sarah sekilas. "Aku terlalu banyak mempercayakan berbagai macam hal padamu selama ini."

Sarah memicingkan matanya ke arah Aria yang masih berbincang sambil sesekali tertawa dengan lawan bicaranya. "Aku tidak yakin dia cukup baik untuk Bapak."

"Sekarang kamu mulai terdengar seperti ibuku."

"Bu Evelyn mempercayakan semua masalah Bapak Mario kepada saya," Sarah mendengus. Mario rasanya ingin mendengus ketika mendengar nama ibunya disebut untuk kesekian kalinya dari Sarah. "Sudah sewajarnya kalau aku berhati-hati 'kan? Terutama dengan nama keluarga Bapak di Indonesia. Terlebih lagi, dia juga berasal dari Indonesia, bagaimana kalau akhirnya dia memanfaatkan nama Bapak?"

"Aria tidak tahu nama Keluarga Tjokrokusuma," Mario kembali menatap Aria yang masih asyik mengobrol. "Dia hanya tahu aku memiliki penghasilan berlebih. Tapi dia tidak tahu seberapa besar nama Tjokrokusuma berkembang di Indonesia saat ini. Dia tinggal di Sydney selama sebelas tahun, saat itu perusahaan kakek memang belum sejaya sekarang makanya dia tidak mengenal nama keluargaku."

"Jadi, Bapak yakin kalau dia tidak akan memanfaatkan nama Bapak?" Tanya Sarah masih dengan nada curiga.

"Aku punya keahlian khusus soal memprediksi banyak hal, termasuk bisnis. Biasanya instingku mengatakan hal yang benar," Mario melihat Aria menangkap sosoknya. Mata mereka bertabrakan sesaat sebelum gadis itu berpamitan dengan lawan bicaranya. Kaki gadis itu berjalan ke arah Mario. Sudut bibir Mario terangkat sedikit. "Kali ini, instingku bilang, she is harmless."

Sarah menggeleng pelan, dia memang tidak mengerti dengan jalan pikiran Mario. Mata sekretarisnya itu ikut menatap sosok Aria yang berjalan semakin dekat ke arah mereka. Aria tersenyum sekilas pada Sarah sebelum menatap Mario. Lebih tepatnya mendongak ke arah laki-laki itu, meskipun dia sudah memakai ankle boots yang cukup tinggi di kakinya hari ini. "Selamat siang untuk kalian berdua," Aria tersenyum lebar. "Aku tidak menyangka kalian masih semangat begini di akhir minggu."

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang