6. Milicent White

3.2K 366 8
                                    

Coffee a little, laugh a lot.

-Anonymous-

.

.

.

Aria berlari masuk ke dalam gedung kantornya.

Dia kesiangan. Kebiasaan ini bukan hal aneh lagi bagi rekan kerja sekantornya. Gadis itu bahkan sering lupa untuk menyisir rambut pirangnya yang mencuat kemana-mana setiap hari. Napasnya masih terengah ketika dia sampai di depan meja resepsionis. Matanya bertemu dengan mata perempuan di balik bilik meja itu. Perempuan itu menggeleng pelan ketika melihat Aria berlari masuk dan tiba di depan mejanya.

"Selamat pagi, Heather!" Panggil Aria sambil mengeluarkan kartu aksesnya dan berlari menuju pintu otomatis. Mesin pencatat absen menunjukkan bahwa dia terlambat dua puluh menit. Ugh.

"Ini sudah siang, Aria!" Panggil Heather dari mejanya sambil menahan tawa. "Kabari aku jika kamu ingin makan siang bersama nanti!"

"Pasti!" Balas Aria setengah berteriak sambil berjalan menuju lift.

Senyumnya perlahan luntur ketika dia melihat pintu lift terbuka. Sosok laki-laki yang tidak ingin dia temui kini muncul di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum semanis gula. Senyum yang menurut orang-orang di gedung kantor itu bisa melelehkan es di kutub. Bagi Aria, senyum itu lebih terlihat seperti senyum om-om mesum. Aria masuk ke dalam lift tanpa menyapanya. Hal itu mengundang tawa renyah dari mulut laki-laki itu.

"Terlambat lagi?" Tanyanya di samping Aria. "Saranku, jangan terlalu sering mabuk-mabukan."

Aria melipat bibirnya. "Bukan urusanmu."

"Aku cuma berusaha perhatian padamu," laki-laki itu menghela napas dengan dramatis. Seakan-akan berbicara dengan Aria membutuhkan energi ekstra. "Bagaimanapun hubungan kita di masa lalu, kita tetap rekan satu kantor 'kan?"

"Ryan," Aria menatap laki-laki itu tajam. "Jangan cari ribut di kantor, mengerti?"

Ryan adalah mantan pacar Aria yang putus dengannya setengah tahun yang lalu. Tampaknya Ryan masih dendam karena Aria tiba-tiba memutuskannya secara sepihak. Tapi Aria tidak suka dengan Ryan yang posesif dan selalu ingin tahu gerak-geriknya. Aria tidak pernah merasa betah bertahan dalam sebuah hubungan dimana dia merasa tertekan. Karena itu dia tidak menyesal sama sekali sudah putus dengan laki-laki itu.

"Bagaimana jika aku tidak mau?" Ryan maju selangkah ke arahnya. Mereka masih berada di dalam lift dan Aria memundurkan tubuhnya. Ekspresi di wajah Ryan berubah lembut dan senyumannya menipis. Kilatan jahil di matanya perlahan meredup ketika melihat penampilan Aria hari ini dari atas sampai bawah. "Sudah lama aku tidak melihatmu, kamu terlihat cantik hari ini."

Aria mendelik tajam dengan tubuh kaku. "Mundur, Ryan."

"Bagaimana kalau kita mampir ke bar sebentar sepulang kerja nanti?" Ryan memiringkan kepalanya tanpa mendengarkan nada mengancam Aria. "Aku akan mentraktirmu minum martini, kesukaanmu."

Aria masih punya sebotol penuh white wine pemberian Mario yang belum dia minum di rumah. Ingatan terakhirnya soal mabuk di bar juga tentang Mario. Tapi dia tidak mau membahas soal Mario di depan laki-laki ini. Lagipula, Aria tidak ingin berurusan dengan Ryan lagi. "Aku tidak tertarik."

Ryan mengernyit, tidak menduga kalau Aria akan menolaknya spontan seperti ini. "Bagaimana kalau makan malam?"

"Ryan, stop," Aria mendesis. "Aku tidak punya waktu untuk semua ini."

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang