17. Understudy

2.9K 368 9
                                    

Never make permanent decisions on temporary feelings.

-Wiz Khalifa-

.

.

.


"Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?"

Pertanyaan itu muncul dari bibir Mario. Sejujurnya, pertanyaan itulah yang selalu berputar di kepalanya beberapa hari ini. Lebih tepatnya saat Aria akhirnya memberi jawaban padanya. Mario sangat kaget hari itu. Tapi dia rasa dia masih bisa menutupi reaksinya. Selama beberapa hari ini, dia masih melakukan kesehariannya seperti biasa. Pergi bekerja, mampir ke rumah Aria, bertemu Mayra dan makan bersama perempuan itu di rumah kontrakannya. Tapi hari ini akhirnya dia berhasil menyuarakan kebingungannya.

Tempatnya menyuarakan kebingungan itu tidak lain adalah Gavin. Kebetulan hari itu dia juga mengajak Fred, terapisnya yang sudah tidak dia temui sejak tiga bulan lalu. Ketiganya kini berada di dalam ruang kerja Gavin sambil mengobrol ringan. Tiba-tiba saja Mario mengangkat topik serius seperti ini. Kalimat itu membuat Gavin mengernyit dan Fred mengerjap heran. Sepertinya keduanya juga sama-sama bingung dengan Mario.

"Menyiapkan acara lamaran? Menyiapkan pesta pernikahan?" Balas Gavin spontan dengan sebelah alis terangkat. "Bagaimana dengan cincin? Apa sudah kamu carikan?"

"Menurutku kamu tidak perlu terburu-buru," Fred tersenyum menenangkan pada Mario. "Kamu tidak perlu terlalu tergesa-gesa menikah dengan Aria. Kamu bisa mengenalkan Aria terlebih dahulu pada ibumu dan keluargamu. Kurasa pendekatan keluarga juga diperlukan di sini supaya Aria juga bisa lebih mengenalmu."

Mario mengangguk pelan. Saran dari keduanya memang benar. Tapi itu artinya Mario harus membuat kepalanya memikirkan dua hal berbeda. Persiapan pernikahan dan mengenalkan Aria secara serius ke dalam keluarganya. Sejauh ini, Aria baru mengenal Gavin, Zoya dan ibu Mario. Dia belum tahu soal anggota Keluarga Tjokrokusuma yang lain. Mario akan mengatur waktu untuk mengenalkan mereka semua secara perlahan.

Dia tidak ingin membuat Aria terdesak, tapi dia juga tidak ingin menunda pernikahannya lebih lama. Ya, inilah isi pikiran kusut Mario yang sebenarnya. Terlebih lagi dia tidak pernah berani bertanya kenapa Aria mau menerima tawarannya. Apa itu karena dia tidak punya pilihan lain?

Mario menarik napas lalu menggeleng. "Aku hanya tidak menyangka dia akan langsung setuju seperti ini. Kupikir dia perlu waktu lebih untuk memikirkan semuanya matang-matang. Aku hanya takut dia menyesal telah menikah denganku nantinya."

Fred dan Gavin bertatapan selama beberapa saat. Gavin berdeham sebelum mengeluarkan alasan logisnya. "Aku rasa pemikiran Aria sama denganmu. Dia ingin anaknya mendapatkan masa depan yang layak. Pasti Aria merasa anaknya memiliki masa depan jika dia menikah denganmu."

Kalimat itu membuat nyali Mario menciut. "Apa itu artinya dia menerimaku hanya karena Mayra?"

Gavin mengerjap bingung. "Bukankah itu memang tujuanmu menikah dengan Aria? Untuk memberikan jaminan masa depan untuk Mayra 'kan?"

Awalnya semua itu memang tujuan akhirnya. Tapi setelah melewatkan hari-hari dengan Aria, Mario tidak yakin lagi pada alasan awalnya. Kini alasan itu meluas dan Mario ingin Aria merasakan lebih dari rasa tanggung jawab. Dia ingin Aria memiliki alasan yang lebih untuk menikah dengan Mario. Karena mereka telah berhasil memperpendek jarak di antara mereka. Karena pada akhirnya, Mario bisa melihat senyuman Aria lagi. Entah sejak kapan perasaannya bertumbuh seperti ini.

Perasaan hangat itu datang diliputi dengan rasa takut. Apa dia merasakan kenyamanan itu sendirian? Apakah Aria tidak merasa nyaman ketika melewatkan waktu bersamanya? Mario tidak pernah tahu karena Aria tidak pernah bilang. Mulutnya bahkan tidak bisa mengucapkan pertanyaan itu pada Aria. Mario takut Aria tidak merasakan hal yang sama. Mario juga takut Aria akan pergi begitu saja sama seperti apa yang dia lakukan tiga tahun yang lalu.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang