13. Piyama

3.2K 389 6
                                    

We were together. I forget the rest.

-Walt Whitman-

.

.

.

Mario langsung mematikan mesin mobilnya ketika melihat Aria pulang dengan menggendong Mayra. Kakinya spontan langsung turun dari mobil dan ia mengulurkan tangannya. Aria juga secara otomatis menyerahkan Mayra ke dalam gendongan Mario. Tangan Aria yang lain sibuk mencari kunci rumah untuk membuka pintu di dalam tasnya. Seperti janjinya kemarin, Mario membawa makan malam untuk mereka berdua malam ini. Meskipun dia kebingungan memilih menu makan malam mereka sendiri.

Dia sudah menduga kalau Aria tidak akan memberinya saran untuk membeli makanan. Saat Mario mengirim pesan tadi siang, Aria hanya bilang terserah. Sebenarnya jawaban itu sudah Mario duga sebelumnya. Karena sepanjang mereka bersama, Aria memang tidak pernah berinisiatif menyarankan makanan yang ingin dia makan. Mario bahkan ragu kalau Aria tahu makanan apa yang mau dia makan. Entah kenapa Aria selalu terlihat tidak bersemangat jika makan.

Tapi kemarin sore dia menghabiskan pasta dari restoran Josette. Dia bahkan berpamitan pada Josette sebelum mereka kembali. Sepupunya itu tersenyum lebar pada Mario sambil mengerling. Dia sengaja menarik pundak Mario mendekat untuk berbisik. "She is nice, I like her," bisiknya dengan senyuman lebar. Aria tidak mendengarnya karena sibuk memperhatikan hiasan dinding di restoran kecil Josette.

Kemarin malam Mario mengantar Aria ke rumah Annette untuk menjemput Mayra. Putri kecilnya itu sudah tertidur lelap dalam gendongan Aria. Mario menawarkan diri untuk mengantar Aria dan Mayra kembali ke rumah. Awalnya Aria terlihat seperti ingin protes, tapi kemudian dia menatap anak dalam gendongannya. Akhirnya dia mengangguk dan masuk ke dalam mobil Mario lagi. Mario mengantarnya dan menjaga Mayra hingga Aria selesai mandi dan memakai piyamanya.

Dia tersenyum tipis pada Mario. "Terima kasih untuk hari ini."

Mario mengangguk. "Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih untuk kalian, makanya aku harap kamu bisa memberikan keputusanmu secepatnya."

Senyum di wajah Aria meredup dan dia mengangguk. Mario akhirnya pulang dengan banyak hal memberatkan kepalanya. Dia takut kalau Aria tidak akan menerima jalan keluar yang Mario sarankan. Dia takut Aria akan membawa Mayra pergi dan dia perlu mencari mereka berdua lagi. Semalaman itu juga Mario tidak bisa tidur. Meskipun biasanya dia juga sering tidak bisa tidur karena dia memang mengidap insomnia sejak dia kecil. Tapi malam kemarin dia benar-benar tidak merasa mengantuk karena kepalanya terlalu sibuk berpikir.

Meskipun sudah menghabiskan semalaman, Mario tetap tidak menemukan solusi lain untuk mereka berdua. Satu-satunya jalan bagi mereka hanya dengan dia harus menikah dengan Aria.

"Kamu bawa apa?"

Mario mengerjap ketika Aria menatap plastik putih di sebelah tangannya yang tidak sedang menggendong Mayra. Mario berdeham pelan sambil menyerahkan Mayra ke gendongan Aria setelah pintu rumah Aria terbuka. "Aku bawa ayam goreng," ucapnya sambil melepas sepatunya untuk diletakkan di rak sepatu mungil Aria. Dia meletakkan plastik putih itu di meja ruang tamu Aria. Dia kembali berjalan mendekat pada Aria.

"Kamu mandi dulu," Mario meraih Mayra yang langsung mengacungkan tangannya pada ayahnya.

Aria mengangguk dan masuk ke dalam kamarnya. Mario duduk di ruang tamu dengan Mayra di pangkuannya. Putri kecilnya itu sibuk menggigit mainan yang ada di tangannya. Ngomong-ngomong, Mario dengar dari Aria bahwa putri mereka sedang belajar berjalan. Penasaran, Mario menempatkan kedua kaki mungil Mayra ke lantai. Kedua tangan Mario masih memegang kedua sisi tubuh Mayra dengan erat karena takut anaknya itu terjatuh.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang