"I don't care who I lose anymore. I choose me."
-Anonymous-
.
.
.
Januari 2022
"Aria."
Suara itu tidak terdengar maskulin dan lembut seperti yang perempuan itu ingat. Tiga tahun ternyata bisa mengubah laki-laki di depannya sebanyak itu. Sepertinya sosok di depannya itu kehilangan cukup banyak berat badan. Matanya terlihat sayu dan lelah, tapi sepasang mata beriris cokelat gelap itu menonjolkan emosi. Lebih tepatnya perasaan marah yang besar. Dia terlihat dingin dalam balutan jas hitam, kemeja dan dasi warna gelap yang dulu perempuan itu sempat kagumi.
Merasa tidak sanggup menjawab, perempuan itu hanya mengangguk pelan dan menunduk. Kedua tangannya terkepal di atas pangkuannya. Dia tidak bisa menatap laki-laki di hadapannya terlalu lama. Perasaan hampa yang lahir dari masa itu sudah memusnahkan hampir seluruh sisa perasaannya yang lain. Dia bahkan tidak ingat kapan dia terakhir kali memiliki perasaan pada laki-laki di depannya itu. Kepalanya tidak ingin mengingat kenangan lama lagi.
Perempuan itu sudah terlalu banyak menelan pil pahit beberapa tahun terakhir. Pil pahit yang terpaksa dia telan karena dia terbuai perasaan sesaat tanpa masa depan. Tepatnya ketika laki-laki di depannya menghilang dan baru kembali sekarang, setelah tiga tahun lamanya. Tiba-tiba saja dia datang dengan membawa pengacara, dugaan perempuan itu, sepertinya itu karena laki-laki ini tahu rahasia besar yang perempuan itu simpan rapat. Entah bagaimana caranya dia tahu rahasia itu. Yang pasti dia kembali terlalu terlambat, tepatnya terlambat dua tahun.
Apa laki-laki ini menyewa mata-mata untuk mencarinya?
Dengan uang dan kekuasaan yang dia punya, tidak mengherankan jika dia menyewa mata-mata terbaik ataupun pengacara terbaik. Mendadak tubuh perempuan itu menggigil. Dia merasa takut dengan kekuasaan dan kekuatan yang laki-laki itu punya, dia bisa menghancurkan perempuan itu dengan satu jentikan jari. Sekarang rahasia yang berusaha dia simpan rapat-rapat mendadak akan muncul ke permukaan. Dia tidak bisa bersembunyi lagi dari kenyataan. Sudah cukup selama tiga tahun ini dia menyembunyikan diri.
"Langsung saja, saya adalah Joe, pengacara utama Keluarga Tjokrokusuma," ucap pengacara yang duduk di samping laki-laki itu dengan Bahasa Inggris yang lancar. Seperti dugaannya, keluarga laki-laki itu memang punya pengacara yang berpengalaman dan terlihat sangat profesional. "Hari ini, saya dan Bapak Mario datang karena kami telah menemukan keberadaan dan kondisi Nona Ariana."
Perempuan itu mengepalkan tangannya. Dia melirik pengacaranya sendiri, Johnson, yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu berdeham pelan sambil melirik Aria. Dia mengisyaratkan pada Aria untuk tidak berbicara satu kata pun hari ini. Aria tidak boleh gegabah dan terbawa emosi. Johnson bilang itu hanya akan memperkeruh suasana. Pengacaranya itu mengatakan bahwa laki-laki di depannya tidak mengetahui fakta soal Aria selama tiga tahun. Itu artinya pihak mereka pasti sudah akan menang dan mereka akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan.
Demi Aria dan rahasia yang dia tutupi selama tiga tahun.
"Nama saya Johnson, saya adalah pengacara Nona Ariana Palmer," kedua tangan laki-laki itu terlipat dengan tenang di atas meja. Matanya menatap Joe dengan tatapan dingin. "Langsung saja kepada inti pertemuan kita hari ini, Joe. Apa ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan kepada klien saya?"
Mata Joe langsung menatap Johnson dengan tajam. "Kami ingin tahu kenapa Nona Ariana memutuskan untuk menghilang tiga tahun lalu secara tiba-tiba. Saat Bapak Mario dengan jelas mengutarakan niatnya untuk serius memiliki hubungan dengan Nona Ariana di malam sebelum Nona Ariana meninggalkan Bapak Mario secara tiba-tiba. Tanpa meninggalkan selembar surat dan tiba-tiba mengganti nomor ponsel."
Tangan Aria terkepal semakin dalam. Kuku jarinya menghujam telapak tangannya dengan kuat. Rasa perih bahkan dia abaikan karena rasanya dia ingin menjerit sekarang. Dia juga berusaha mati-matian untuk menghindari tatapan tajam yang ditujukan Mario padanya. Aria harus menahan diri untuk tidak berbicara. Tapi saat ini dia merasa takut melihat reaksi Mario secara langsung. Aria memejamkan matanya ketika mendengarkan Johnson mulai berbicara.
"Nona Ariana harus kembali ke Bandung karena kondisi kesehatan ibunya tiba-tiba memburuk," Johnson menjelaskan dengan tenang. "Dia langsung terbang dari Sydney ke Bandung di penerbangan terpagi saat menerima kabar dari kakak perempuannya, Nona Annette."
"Kenapa dia tidak menginformasikan hal ini pada Bapak Mario atau setidaknya meninggalkan surat?" Tanya Joe masih dengan ketenangan yang terkontrol.
"Nona Ariana sangat panik ketika mendengar kabar ibunya yang sudah koma, dia bahkan tidak sempat memikirkan apa-apa kecuali keselamatan ibunya dan keinginannya untuk bertemu ibunya dalam kondisi kritis," balas Johnson tegas dengan nada lebih dingin. "Dan lagi, dia pikir dia bisa memberikan informasi kepada Bapak Mario setelah dia turun dari pesawat. Tapi apa hasilnya? Semua sambungan telepon dari Nona Ariana masuk ke kotak suara setelah berkali-kali dia menelepon."
"Itu karena dia seharusnya memberi kabar sebelum dia pergi. Bapak Mario sendiri ada penerbangan untuk kembali ke Indonesia pagi itu," Joe menggeleng pelan. "Kenapa setelahnya Nona Ariana sama sekali tidak mencoba untuk menghubungi Bapak Mario lagi? Bapak Mario juga pasti akan menghubunginya jika Nona Ariana tidak mengganti nomor ponselnya."
"Kondisi ibunya sekarat, Joe," Johnson menekankan dengan tajam. "Apa dia masih sempat memikirkan soal hubungan satu malamnya dengan Bapak Mario ketika dia mendengar kabar kesehatan ibunya yang mendadak berubah kritis? Hari-hari setelah itu, Nona Ariana disibukkan dengan menjenguk ibunya di rumah sakit selama seminggu, kemudian dilanjutkan dengan acara pemakaman ibunya. Dia berduka selama sebulan penuh."
"Lalu kenapa setelah dia selesai berduka dia tidak mencoba menghubungi Bapak Mario lagi? Kenapa dia mengganti nomor ponselnya?" Tanya Joe mulai terlihat kesal.
Mario yang duduk di sampingnya juga mulai menampilkan mimik wajah yang berbeda. Wajahnya terlihat pucat tapi ekspresinya masih dingin. Aria langsung menunduk sebelum tatapan mereka kembali bertemu.
"Biarkan saya menjelaskan sampai selesai terlebih dahulu. Setelah satu bulan mengalami kesedihan yang mendalam, Nona Ariana merasakan ada penurunan kesehatan yang terjadi dalam dirinya," Johnson terdiam sebentar. Suasana di dalam ruangan itu semakin terasa mencekam. "Akhirnya dia memutuskan untuk mengecek dirinya ke dokter, ditemani oleh kakak perempuannya, Nona Annette."
Johnson menatap Aria sekilas. Seakan-akan dia meminta izin untuk mengutarakan kalimat selanjutnya. Aria mengetahui apa yang ingin Johnson utarakan saat itu. Mereka sudah membicarakan strategi ini kemarin. Karena itu Aria mengangguk pelan. Pada dasarnya, memang masalah inilah yang menyebabkan mereka harus kembali duduk di ruangan yang sama seperti ini. Dia ingin ini cepat selesai supaya Aria bisa pulang dan istirahat.
Johnson kembali menegakkan kepalanya. "Hari itu, Nona Ariana baru mengetahui bahwa kondisinya sedang hamil."
Aria memejamkan matanya ketika mendengar suara pukulan meja yang keras.
Emosi dan tekanan yang Mario rasakan sepertinya sudah mencapai batasnya.
Aria tahu hari ini akan tiba meskipun dia selalu berdoa setiap malam agar hari ini tidak pernah tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer