14. Cheesecake

3K 379 5
                                    

I wish I was kissing you instead of missing you.

-Anonymous-

.

.

.


Aria bingung bagaimana caranya membuka diri.

Dia tahu setiap malam Mario berkunjung ke rumahnya, dia selalu pulang dengan perasaan kecewa. Senyuman tipis dan ucapan sampai jumpa Mario bahkan terdengar sangat sedih di telinganya. Semua gestur Mario membuat Aria merasa bersalah. Aria tahu Mario ingin mereka saling berkomunikasi dan membuka diri agar mereka mengerti satu sama lain. Tapi Aria tidak pernah tahu bagaimana caranya melakukan hal itu. Selama ini dia tidak pernah membuka dirinya dengan orang lain selain kakak perempuannya, Annette.

Annette selalu menegurnya karena itu semua berkaitan dengan trust issues Aria sendiri. Sebagian besar dari dirinya memang belum bisa percaya sepenuhnya pada Mario. Kecurigaan kecil selalu bermunculan di kepalanya setiap kali dia melihat Mario. Apa yang Mario sebenarnya inginkan dari pernikahan mereka? Apakah suatu hari nanti dia akan merebut Mayra dari tangan Aria? Apa ini semua adalah rencana rancangan Mario supaya dia bisa membohongi Aria untuk mendapatkan Mayra? Semua pertanyaan-pertanyaan itu menghantuinya dan membuatnya merasa tidak aman setiap kali dia ingin membuka diri.

Tangan Aria refleks memijat pelipisnya sendiri. Beberapa malam ini dia tidak bisa tidur karena dia sibuk memikirkan hal ini. Sekarang dia masih di kantor dan rasanya dia tidak ingin pulang naik kendaraan umum. Kepalanya terlalu pusing karena dia kurang tidur. Tapi dia tidak punya pilihan lain 'kan? Dia harus pulang sendiri dan menjemput Mayra. Apa dia bahkan masih sanggup makan malam dan berbicara dengan Mario malam ini?

"Kamu belum pulang?"

Suara itu membuat Aria mendongak. Di depan kubikelnya, sosok Livia berdiri dengan kernyitan di dahinya. Tidak heran jika Livia bingung, karena biasanya Aria akan langsung berlari ke terminal untuk naik bus ketika jam kantor selesai. Di kantor, hanya Livia yang tahu kalau Aria punya seorang anak. Itu juga karena Livia pernah dengan tidak sengaja bertemu dengan Aria saat dia sedang berbelanja di supermarket bersama Mayra. Untungnya, Livia tidak bertanya soal ayah Mayra ataupun membocorkan hal itu pada orang kantor.

"Iya, kepalaku agak pusing," Aria tersenyum kecil. "Aku akan tidur sebentar di sini sebelum pulang."

"Mau kuantar?" Livia terlihat khawatir. "Aku bawa motor kok."

Aria menggeleng. Rumahnya dan rumah Livia memang berjarak cukup dekat tapi dia harus pergi ke rumah Annette dulu dan menjemput Mayra. Dia tidak enak merepotkan teman kantornya. "Aku hanya mengantuk saja kok. Tapi terima kasih sudah menawarkan."

Livia mengangguk masih dengan wajah khawatir. "Kalau kamu butuh bantuan telepon aku saja ya?"

Senyum Aria melebar. "Iya, terima kasih ya."

Livia membalas senyumnya sebelum berpamitan dan keluar dari ruangan kantor. Aria meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Annette bahwa dia akan agak terlambat karena pekerjaannya belum selesai. Dia tidak bisa bilang dia sedikit pusing, Annette akan langsung merasa sangat khawatir. Aria tidak ingin merepotkannya lagi. Ponselnya bergetar dan dia melihat Annette setuju menjaga Mayra lebih lama hari ini. Aria melipat tangannya di atas meja dan dia menempelkan dahinya di atas lengannya dengan mata terpejam.

Mata Aria terbuka karena mendengar suara ringtone ponselnya. Dia mengangkat kepalanya dengan kaget. Fokusnya langsung mencari jam di ponselnya. Ternyata dia sudah ketiduran satu jam lebih. Dia menggigit bibir dengan gugup ketika melihat nama Mario yang meneleponnya. Ibu jarinya menggeser tombol hijau kemudian dia menempelkan ponsel itu di telinganya.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang