Just like puzzle, it takes time for all the pieces of your life to come together.
-Anonymous-
.
.
.
"Apa Kak Aria sudah kenyang sekarang?"
Suara tawa di sekelilingnya tidak membuat gadis itu bergeming. Saus, sayuran, roti dan daging menempel berantakan di rambutnya. Tubuh dan bajunya terasa lengket karena baru disiram dengan soda. Di sekeliling tubuhnya, ada banyak kentang goreng berjatuhan. Tapi kepalanya tetap menunduk ke lantai. Dia sedang berusaha sekuat tenaga menahan emosinya yang memuncak.
"Aku sudah bilang berulang kali, Kak Aria seharusnya diet," ucap seorang gadis yang menjadi dalang dari kejadian ini. "Aku malu punya seorang kakak yang bertubuh gemuk sepertimu. Kakak tidak tahu bagaimana rasanya masuk ke sekolah dan diperhatikan oleh orang lain karena memiliki kakak yang gemuk dan jelek 'kan? Akulah yang harus menanggung semua rasa malu itu. Apa Kak Aria bahkan lupa aku punya cita-cita menjadi seorang model?"
Aria hanya bisa mengepalkan tangannya. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya dia mengalami ini. Pertama kali dia berusaha untuk melawan dan itu membuat Heather harus datang ke ruang kepala sekolah. Sepulang sekolah dia mendapat tamparan dan omelan dari Heather karena berusaha melaporkan Gia, adik kandungnya sendiri. Seberapa banyak Aria menjelaskan, baik Heather maupun ayahnya tidak percaya bahwa anak mereka yang membuat Aria seperti ini.
Aria memutuskan untuk tidak melaporkan hal ini kepada pihak sekolah lagi. Dia akan bertahan karena ini adalah tahun terakhirnya di sekolah. Setelah ini, dia bisa keluar dari rumah ayah dan istri barunya. Dia bisa tinggal dimanapun dia mau seperti apa yang Annette lakukan dua tahun lalu.
"Aku benar-benar muak melihat wajahmu," ucap Gia sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia berjalan pergi bersama dengan empat temannya yang lain sambil tertawa.
Aria tidak mengerti kenapa dia harus mengalami ini. Bukankah seharusnya dia yang mengganggu Gia karena dia adalah adik tirinya? Dia yang sudah menyebabkan kehancuran keluarga Aria sejak awal. Tapi saat ini Aria tidak bisa berbuat apa-apa. Ayahnya sendiri lebih mendengarkan perkataan Gia setiap hari. Dia hanya perlu bertahan lalu keluar dari rumah keluarga itu.
Dengan tekad bulat, Aria bangun dan membersihkan dirinya di toilet sekolah. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Memang dia tidak sekurus Gia karena Aria selalu makan dengan teratur. Dia juga tidak pernah pergi ke gym untuk berolahraga. Setetes air mata jatuh ke pipinya. Seandainya saja ibunya ada di sini sekarang, apakah dia akan mengalami semua ini? Jika ayahnya tidak memenangkan hak asuh atas Annette dan dirinya, mereka sudah pasti akan tinggal bersama saat ini.
**********
"Aria? Kita sudah sampai."
Mata Aria terbuka perlahan saat mendengar suara lembut itu. Dia menoleh dan mendapati Mario yang duduk di sampingnya dengan wajah khawatir. Mayra sedang tidur di dalam gendongan Aria dan sepertinya tanpa sadar Aria juga ikut tertidur karena lelah menangis. Aria menatap ke luar mobil dan sadar bahwa Mario membawanya ke rumah yang dulu Aria isi dengan desain interiornya. Ternyata, Mario masih memiliki rumah itu.
Mario keluar dan memutari mobilnya untuk membuka pintu Aria. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Aria turun. Tubuh Aria terasa lemas ketika Mario menuntunnya masuk ke dalam rumah. Aria masih sempat menyadari kondisi rumah itu yang baru dibersihkan atau memang dibersihkan secara rutin. Koper-koper mereka ada di bagian dalam rumah karena tadi Mario menyuruh Sarah yang mengatur kopernya untuk dibawa duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piccolo (FIN)
Romance(Spin-off dari Cappucino) "Ironisnya, hal paling menyakitkan bagi seseorang kebanyakan berasal dari akumulasi hal-hal kecil yang menyakitkan di masa lampau." -Ariana Elizabeth Palmer