12. Ikatan

3.5K 397 3
                                    

The worst way you can leave someone is in silence.

-Anonymous-

.

.

.


"Kamu yakin sudah siap?"

Pertanyaan itu datang dari Annette untuk kelima kalinya hari itu. Lima kali juga Aria meragukan keputusan awalnya untuk bertemu Mario hari ini. Sudah seminggu berlalu sejak Mario berhasil menemukannya dan Mayra. Selama seminggu itu juga Mario tidak pernah absen untuk datang ke rumah Aria di sore hari sepulang kerja. Ketika Aria sampai di rumah dengan membawa Mayra, mobil sedan hitam Mario sudah berada di depan gerbang rumahnya. Dia juga selalu buru-buru keluar untuk membantu Aria membawakan barang-barang Mayra ke dalam rumah.

Tapi dalam kunjungan itu Mario lebih banyak memperhatikan Mayra. Menggumamkan berbagai hal dalam volume kecil di telinga putrinya. Laki-laki itu juga tidak pernah datang dengan tangan kosong. Dia selalu membawa banyak perlengkapan bayi dengan merk terbaik yang tidak pernah Aria beli. Aria sempat protes beberapa hari yang lalu. Tapi Mario menjawabnya dengan tenang dan tanpa emosi. Melainkan seperti nada lelah dan kecewa. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Mayra. Selama ini dia tidak bisa menikmati hasil kerja kerasku, apa aku salah jika ingin memanjakannya sedikit?"

Aria tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk membantah ucapan Mario. Karena sebenarnya kehadiran Mario membantunya juga. Aria jadi punya waktu untuk mandi dan makan. Karena kesibukannya bekerja dan menjaga Mayra, tidak jarang Aria lupa makan malam dan baru mandi ketika Mayra tidur. Tapi seminggu ini dia makan dan mandi dengan teratur. Semua itu juga karena Mario yang mati-matian tidak mau pulang sebelum Aria selesai mandi dan makan. Biasanya Mario akan pulang setelah dua jam kunjungan. Mereka tidak pernah berbicara banyak selain hal-hal yang berkaitan dengan Mayra.

Semalam, setelah berpikir panjang, Aria mengajukan diri untuk berbicara empat mata dengan Mario. Karena dia merasa sudah cukup lama menunda. Reaksi laki-laki itu hanya sebuah anggukan pelan. Aria yang merasa tidak enak akhirnya kembali berbicara. "Kita bisa bertemu di kafe atau restoran jam empat sore. Aku akan minta Annette untuk menjaga Mayra sampai kita pulang."

Mario menatap Aria sekilas. "Kamu ingin aku jemput? Aku bisa ke kantormu dan kita bisa pergi bersama ke restoran terdekat."

Aria buru-buru menggeleng. "Tidak perlu, aku bisa naik angkutan umum."

"Angkutan umum di hari kerja pasti sangat ramai dan macet sekali," Mario mengangkat bahu. Matanya menatap ke arah taman depan rumah kontrakan Aria yang kosong tanpa tanaman. "Itu akan membuat waktu diskusi kita berkurang dan kamu bisa pulang terlalu malam. Nanti waktu tidurmu tidak cukup dan kamu akan terlambat bekerja esok harinya. Aku jemput saja ya?"

Aria bahkan baru ingat kalau Mario akan berdebat sampai orang lain mau menuruti kemauannya. Dia bahkan bisa dengan mudah menemukan alasan masuk akal agar orang lain mengikuti kemauannya. Aria akhirnya menghela napas pasrah dan mengangguk. "Kalau begitu, nanti aku kirimkan alamat kantornya padamu."

Itulah percakapan singkat mereka semalam. Dan sekarang Aria sedang bersiap-siap untuk turun ke lobby kantor. Tiba-tiba saja kakak perempuannya meneleponnya dengan suara khawatir. Aria menghela napas sambil menutup kancing tas merahnya. "Anne, kamu jangan khawatir ya? Aku sudah siap kok."

"Oke oke," Annette menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. "Tapi kamu harus ceritakan padaku jika ada apa-apa nantinya ya?"

Aria mengiyakan sebelum berpamitan dengannya. Dia mengerti kekhawatiran Annette. Bohong jika Aria bilang bahwa dia tidak gugup. Tapi sebagian dirinya yakin kalau Mario tidak akan melakukan hal buruk padanya malam ini. Jika memang dia mau berbuat jahat, dia pasti akan melakukannya dari kemarin. Aria mendesah berat kemudian membawa tasnya keluar dari ruangan sebelum dia kembali berubah pikiran. Ponsel di tangannya bergetar ketika dia berada di dalam lift. Jarinya menggeser layar untuk mengecek pesannya.

Piccolo (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang