13. Honey 💝

8.8K 213 49
                                        

Belum juga bernafas lega. Melody kembali dibuat tercengang dan tidak percaya. Bahkan suaranya raib begitu saat saat tangan itu berhasil merengut satu-satunya pakaian yang tersisa menempel di tubuhnya.

"Ahgsss..."

"Mel, kau menangis? "

***

Matahari samar-samar mulai menujukan pendarnya, namun lelaki dengan hidung macung ini belum juga menutup matanya. Setelah dirinya meminta hak yang sebenarnya bukan haknya. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sedetik saja. Bulir bening yang menjadi saksi kesekian kalinya ia meminta hak yang bukan haknya itu masih terbayang-bayang di kepalanya. Ia juga merasakan tubuh yang digagahinya itu sempat bergetar hebat. Namun mengapa perempuan itu tidak melawan? Alur permainan macam apa yang perempuan itu siapkan?

Masih di atas ranjang tak terlalu besar hanya muat dua orang saja. Menghelah nafas berat tak mengerti,  ditatapnya perempuan yang masih terlelap di dalam pelukannya ini. Senyum penuh artinya tersungging begitu saja. Mengusap lembut dahi tanpa jerawat itu.

"Terima kasih, aku suka alur permainanmu. " ucapnya pelan sebelum akhirnya ia mendaratkan kecupannya pada tempat di mana tadi ia mengusap. Hanya sebua kecupan tidak lebih.

Rakka beranjak turun dari ranjang setelah sebelumnya membenarkan posisi dan menyelimuti tubuh polos itu. "Istirahatlah, aku sarapan di luar saja. " ucapnya lagi. Setelah itu dirinya benar-benar beranjak dari kamar itu bergegas membersihkan diri.

Tak butuh waktu lama tak sampai lima belas menit laki-laki berperawakan tinggi tegap itu telah rapi dengan setelan kemeja formal tanpa jasnya. Ia berjalan ke dapur sebentar membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Hingga matanya menangkap sesuatu dan senyumnya kembali mengembang.  Rasanya moodnya pagi ini benar-benar baik. Jika digambarkan dalam bentuk komik atau kartun lainnya. Mungkin dua tanduk merah di atas kepala Rakka telah berganti dengan lingkarang putih khas kepemilikan sang Malaikat.

Hingga jam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya menunjukan angka tujuh kurang 10 menit. Dirinya harus lekas berangkat ke kantor. Menyambar tas kerja dan kunci mobil ia bergerak cepat meninggalkan Melody yang masih nyenyak terlelap.

***

"Pagi Pak Rakka... " sapa salah satu karyawannya saat berpapasan dengannya di ujung lobi.

"Pagi Do bagaimana kerjaannya?  Lancar? " balas dan tanya Rakka ramah tak seperti biasanya.

Bahkan membuat Edo selaku karyawannya itu sedikit mengernyit kaget dan tidak percaya. Takut hal buruk telah terjadi pada CEOnya ini. Tapi  mengingat perubahan baik pada diri CEOnya sepertinya bukan hal buruk yang baru saja menimpa lelaki tampan itu.

"Lancar Pak. " jawab Edo mengangguk sopan tak lupa senyuman ia berikan meski masih banyak tanya di dalam kepalanya tapi ia sudah sangat bersyukur.

"Jam kerja masih 25 menit lagi. Kamu sudah sarapan? " tanya Rakka melihat jam di pergelangan tangannya.

"Sudah pak.  Bapak mau dipesankan sarapan? " jawab dan tanya Edo semakin tidak paham.

"Tidak,  saya mau ajak kamu sarapan bareng."

Mata Edo membulat mendengar penuturan CEOnya ini.  Apakah ada yang salah dengan kupingnya atau lebih tepatnya dengan otak Rakka.

Buru-buru ia menggeleng.  Menolak ajakan ceonya itu. Bukan tidak tau terima kasih atau menolak rejeki.  Hanya saja sedikit aneh dan ngeri. Lagi pula dirinya sudah kenyang.

"Maaf pak tapi saya sudah kenyang.  Istri saya tadi masak kesukaan saya pak. " jawab Edo dengan wajah memerahnya.

"Ah enaknya punya istri pandai memasak.  Saya jadi tidak sabar menikah."

Taste Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang