32. Karena Perihalnya adalah Melody

202 15 0
                                    

Sek sek...
Tak saranin nih ya sebelum baca pertama-tama kalian ambil tisu dulu.  Abis itu play lagunya kak Michela Thea "Tapi Bukan Aku" atau kak resti sama kak surep  "Sadar Posisi" volumenya kecilin aja. setelah itu baca part 32 ini  😂

Selamat membacaaaaa.....

####

Rakka bergerak gelisah menyaksikan Melody diperiksa. Perempuannya itu nampak sangat lemas.  Wajahnya pucat bibirnya lumayan kering.  Tidak seperti biasanya. Keringat sebesar biji-biji jagung juga tiada henti keluar dari keningnya.

"Bagaimana?" tanya Rakka pada Dira yang baru saja selesai memeriksa keadaan Melody.

"Gejala Typus biasa. " balas Dira sembari memasukan stetoskop pada saku jas kebanggannya.

"Jaga pola makan Melody Pak. Jaga pola pikirnya juga ya. "

Dira menatap Melody dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum dirinya kembali pada Rakka yang berada di sampinya. Dirinya tak mengerti hubungan keduanya. Sedikit aneh dan banyak kejanggalan di sana. Hubungan keduanya nampak tak biasa. Tak bisa dikatakan pembamtu dan majikan.

Melihat gestur Rakka yang nampak begitu kasian dan pastinya begitu sayang juga.  Padahal ia tau jelas lelaki tampan itu telah memiliki tunangan. Ini benar-benar aneh.

Lihatlah bahkan Rakka tidak tanggun-tanggung menyeka keringat yang terus bercucuran itu. Seingatnya bersama Alona saja Rakka tidak pernah seperhatian ini.

"Aku buatkan resep.  Nanti Pak Rakka bisa tebus di apotek. " ucap Dira menulis berbagai macam nama obat-obatan pada selembar kertas. Setelahnya ia berikan pada lelaki itu.

"Tunggu bentar ya sayang.  Mas tebus obatnya bentar aja kok."

Ucapan Rakka semakin membuat Dira tertohok. Jadi benar dugaannya. Ia memijit pelipisnya pusing. Kenapa sih orang-orang suka sekali memperuwet keadaan.

Dira perlahan menghampiri Melody kembali.

"Hay, " sapa Dira hangat tapi sedikit kaku.

Melody hanya bisa terdiam.  Gemuruh di dalam dadanya membuatnya susah berfikir.  Panik menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana jika dokter ini curiga terhadap hubungannya dengan Rakka.  Aih Rakka juga kenapa laki-laki itu bodoh sekali.  Matiiii... Mati.

"Tenanglah, semua orang berhak merasakannya kok. " ucap Dira kali ini lebih santai.

Dira menarik kursi memilih duduk di dekat Melody. Dia memang buia dokter psikiater tapi setidaknya dia bisa sedikit menenangkan. Satu yang tak pernah bisa ia tenangkan, perasaanya sendiri.

"Kalian berdua sama-sama nggak ada yang salah, kamu juga nggak pernah mau kan ada di posisi seperti ini." Tutur Dira lembut.

Melody terdiam terhenyak. Ada yang begitu nyeri di dalam sana.

"Tapi Mas Rakka sudah punya Bu Alona. " lirih Melody pada akhirnya.

Dira menghela nafas berat. Ia tak bisa lagi berkata.  Rasanya miris sekali menjadi Melody. Mungkin dirinya juga tak jauh berbeda dengan perempuan ini. Hanya saja lawannya adalah masa lalu dari seseorang yang diam-diam ia sukai.

"Berjuanglah aku di pihakmu. " tutup Dira sebelum akhirnya ia memilih pergi.  Sebelum semuanya tumpah ruah di sini dan akan membebani perempuan itu lagi.

Sepeninggalan Dira Melody kembali terdiam.  Memikirkan yang seharusnya tidak pernah ia pikirkan. Kalau saja perasaanya tak seceroboh ini. Hingga suara Rakka di ujung sana membuatnya kembali tersadar.

"Maaf ya lama," ucap Rakka lembut sembari menaruh obat yang baru saja ia tebus.

Melody hanya menggeleng.  Mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Nyeri di dalam sana kembali datang berkali lipat. Rasa bersalah perlahan kembali merayap beradu dengan rasa takut kehilangan.  Ia harus memilih yang mana.  Apa ia menuruti saja yang Dira katakan tadi, berjuang.  Tapi dirinya akan dihantui rasa bersalah seumur hidup. Tidak seharusnya dirinya menjadi pengacau antara Rakka dan Alona. 

Taste Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang