Aleta berjalan menyusuri halaman samping, namun Aleta tidak menemukan jalan untuk Doni dan Alif bisa masuk. Hanya satu pilihannya, menerobos pagar depan. Perhatian gadis itu teralihkan saat ponselnya berdering.
Dring... Drinng...
Aleta mengembang senyum tipis, sembari mengangkat ponselnya dan menempelkannya di telinga kiri.
"Hallo Don," sapa Aleta tenang.
"Kita udah di depan Vila, sama Idrus dan orang-orang yang akan bantu kita." jawab Doni di seberang ponsel dengan suara sedikit terburu-buru.
"Oke, tunggu bentar." ucap Aleta, gadis itu membawa dirinya ke tempat yang sepi, Aleta menatap ke sekeliling dan kembali menempel ponselnya ke telinga kiri. "Oke, kamu bawa kan gas air matanya?"
"Bawa kok," sahut Doni.
Aleta menganggukan kepalanya meski orang di seberang ponsel tidak lah melihat perlakuannya. "Ya udah." Aleta melirik sekitarnya memastikan tidak ada yang akan mendengar ucapannya. "Inget ya, kalian harus gerak cepat. Saat pagarnya kebuka sedikit, kalian langsung terobos." imbau Aleta menegas.
"Ia, semuanya udah di atur. Tenang aja, lo juga harus hati-hati."
"Ia." sahut Aleta singkat, "ya udah, gue tutup. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum sallam."
Aleta berjalan dengan santai menuju halaman depan, gadis itu sesekali tersenyum ramah pada para penjaga bertubuh kekar itu. Jujur, Aleta tidak takut dengan tampang seram mereka. Hanya saja, Aleta ciut saat melihat tubuh dan otot-otot yang masanya jauh dari kebanyakan orang-orang yang pernah baku hantam dengannya.
Langkah Aleta semakin cepat menuju pos yang ada di dekat gerbang, dokter muda itu memasang wajah tergesa-gesa.
"Pak, bisa bukain pintu ngak bentar. Saya mau kedepan, beli sesuatu." pinta Aleta.
"Biar saya saja yang keluar, Dok." jawab si penjaga, membuat Aleta sedikit mendelik malas namun dengan pandai gadis itu memasang senyum kikuk.
"Em, enggak usah Pak. Soalnya beli barang yang --- ya, bapak masa ngak paham. Saya mau beli bantalan itu loh," gumam Aleta dengan raut malu-malu.
Beberapa saat penjaga itu saling menatap namun pada akhirnya salah satu dari mereka mengangguk. "Baik lah. Apa Dokter perlu pengawalan?"
"Ngak usah, makasih." tolak Aleta dengan cepat, "bisa kok pak jaga diri, gini-gini aku pernah juara provinsi. Tapi lomba nari," Aleta terkekeh disusul tawa geli si penjaga.
"Dokter bisa aja bercandanya." timpal penjaga yang lainnya.
Aleta menyengir. " Ya udah, Pak. Tolong buka pagarnya, nanti keburu bocor sayanya."
Tiga penjaga itu salaing mengulum senyum dengan kepolosan dokter cantik itu.
"Ia, dok." jawab salah satu penjaga.
Aleta langsung mengiring langkah si penjaga, dua lainnya menunggu di pos. Aleta tersenyum miring saat perlah tapi pasti si penjaga membuka kunci pagar dan mulai membuka gerbang hingga muat untuk bisa di lewati.
Bugh.
Aleta memukul dengan keras tengkuk si penjaga, membuatnya terkulai lemas tak berdaya.
Melihat kejadian itu para penjaga yang lain langsung menghampiri, namun belum sampai ke pagar. Gas air mata berjatuhan ke halaman depan. Membuat para penjaga buyar dan bubar seperti lebah yang terkena asap.
Idrus dan pasukannya masuk dan langsung menyerang penjaga yang ada di depan, Doni menarik Aleta menjauh dari gas yang mengepul.
"Pakai ini." Doni menyodorkan oksigen portable ke wajah Aleta, gadis itu sempat dibuat tertegun hingga suara Alif membuyarkan tatapan Aleta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...