Alif membelakangi pintu ruangan yang masih tertutup, dari keterangan pegawai yang bertugas di depan bahwa ruangan yang sejak tadi menjadi perhatian Alif itu adalah ruang rapat.
Kantor Green Galeri jauh lebih sejuk dari namanya, banyak lukisan alam dan tanaman hidup yang terpajang memenuhi setiap sudut ruang dan lorong kantor. Bahkan beberapa kabin ruangan sengaja di buat seperti taman hidup, pantas saja jika namanya Green Galeri.
Setelah menunggu hampir satu jam, pintu ruangan itu tertarik dari dalam. Beberapa orang keluar dengan wajah ceria, seolah puas dengan hasil rapat. Namun tidak dengan Liya, istri Alif itu justru terlihat datar, tak seceria yang lain.
"Selamat siang istri ku." Sapa Alif dengan senyum iseng yang beberapa pekan ini sering ia lemparkan pada Liya di pagi hari.
Liya menoleh kaget, ia bahkan tak menyadari akan keberadaan Alif diantara karyawan dan rekan kerjanya.
"Alif," ucap Liya, seulas senyum mengiringi raut wajahnya yang semula murung.
Alif ikut tersenyum. "Perasaan semua orang keluar dengan wajah ceria, tapi wajah kamu kok beda?" Tanya Alif, menatap heran pada sang istri.
Liya mengedarkan tatapannya pada rekan-rekan kerja yang sudah menjuhi dirinya dan sang suami, lalu mengalihkan mata hazelnya untuk menatap raung rapat yang sudah kosong.
"Kenapa?" Lanjut Alif setelah ikut menatap ruangan yang kosong.
Bibir Liya sedikit mencebik membuat Alif menatapnya dengan penuh perhatian. "Mereka meminta ku menyelesaikan beberapa lukisan lagi dalam minggu-minggu ini," ucap Liya seolah mengadu pada sang suami.
Alif mendelik kaget. "Lagi? Bukannya yang baru itu belum juga selsai ya?" Alif masih ingat jelas jika lukisan di kamar mereka belum lah sempurna.
"Itu dia, aku agak ragu bisa selesaikan seperti yang mereka targetkan." Ucap Liya, meski terdengar biasa itu tetap sebuah keluhan yang keluar dari bibir Liya.
"Lalu kenapa ngak kamu tolak aja?" Sambung Alif.
Liya menggeleng kecil masih dengan tatapan sendu yang tak semangat. "Aku ngak enak lah, masa baru gabung banyak komplen." Liya melenguh di depan sang suami.
"Ngak apa-apa dong, kamu juga butuh waktu istirahat kan? Aku ngak mau kamu kayak semalam." Alif bersedekap, saat teringat tentang kejadian semalam. Senyum di bibir Alif mengembang. "Bagaimana hasil tesfeck- nya? positif?" Tanya Alif antusias.
Seketika Liya menepuk jidatnya sambil menggerutu dalam hati. Bagaimana ia bisa melupakan benda itu begitu saja, padahal semula ia sendiri sudah tak sabar dengan hasilnya.
Liya menyengir kecil kearah sang suami. "Aku lupa lihat hasilnya karena buru-buru kesini."
Laki-laki di hadapan Liya itu justru terkekeh geli. "Ya udah ngak apa-apa, kamu udah makan belum?" Alif menanggapi cengengesan Liya dengan santainya, laki-laki itu justru menatap Liya penuh kasih sayang dan perhatian.
Liya menggeleng pelan, perhatian Alif yang seperti inilah yang membuatnya takluk dan bisa bersikap manja.
"Loh! Ini udah lewat jam makan siang, masa kamu ngak di kasih makan sama mereka? Kebangetan." Omel Alif, mata hitam itu memutar seakan mencari sasaran untuk di marahi.
Liya terkekeh, "bukan salah mereka Lif. Aku aja yang ngak nafsu buat makan." Sahut Liya masih dengan tawa kecilnya.
"Perut kamu masih mual?" Perasaan hawatir membuat Alif memperhatikan wajah sang istri dengan seksama.
"Enggak! Aku baik-baik aja kok. Cuma ya kamu tau lah, kalau lagi banyak pikiran nafsu makan aku kurang." Jelas Liya, membalas tatapan Alif dengan matanya yang sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...