8° |SAH|

1.5K 129 2
                                    

Seorang dokter mungkin sudah begitu lumrah dengan penyakit jantung, namun bagaimana dengan penyakit jantungan yang satu ini. Jantung Alif berdegup kencang, kerja jantungnya lebih cepat dari biasanya.

Beberapa kali Alif mengukur denyut nadinya, dan sesering itu pula Alif menarik napas lalu membuang napas itu perlahan. Segala hal Alif lakukan, agar jantung berdegup normal. Nyatanya, semuala hal yang ia lakukan sia-sia.

Sepanjang perjalanan, jantung Alif tetap berdegup kencang dan keringat dingin turun dari dahinya.

"Aku dokter, masa ngak bisa ngilangin nerves." Gumam Alif mengeluh dalam batin, sekali lagi ia mengusap keringatnya yang tahu dengan saput tangan.

Aisyah yang duduk di sebelah Alif tersenyum kecil. "Kenapa? Gugup?" Tanyanya dengan penuh perhatian.

Alif mengernyit. "Keliatan ya ma kalau Alif gugup?" Balasnya dengan raut yang malu.

"Keliatan banget," Jawab sang mama dengan tawa gelinya membuat Alif hanya bisa tersenyum malu.

"Masa seorang dokter gugup," timpal Syahid membuat Alif menoleh kesamping kirinya.

"Pa, ini bukan masalah dokter atau bukannya." Sahut Alif mengeluh.

Syahir tertawa kecil melihat ekspresi sang putra, tak menyangka jika seorang dokter ahli bedah bisa merasakan gugup. Syahid menepuk-nepuk pundak Alif. "Tenang lah, semua akan berjalan lancar." Ucapnya.

"Amin," jawab Alif penuh harap. "Doain Alif," ucapnya menatap sang papa lurus.

Aisyah tersenyum simpul, mengusap kepala Alif lembut. "Tanpa kamu minta, mama dan papa pasti doain kamu Alif." Sambungnya.

"Makasih ma, pa." Tutur Alif bahagia, laki-laki itu tersenyum rekah membuat kedua orang tuanya turut merasakan kebahagiannya.

"Sama-sama sayang," Jawab Aisyah.

Syahid menatap Alif dan istrinya, ini kebahagiaan yang paling ia harap sejak dulu. Alif akhirnya menikah, dan hubungan perahabatnya dengan Fahtur kini menjadi semakin erat dalam hubungan keluarga.

Jika di dalam perjalanan Alif begitu gugup, gadis yang kini duduk di depan mereka rias itu tersenyum ragu menatap bayangannya di cermin.

Ini bukan kali pertama ia berdandan pengantin, Liya tidak akan melupakan riasan ketika pertama kali ia menjadi pengantin. Dulu Liya begitu gugup, tapi saat ini tidak lagi. Gadis itu justru cemas dan takut, takut jika ia akan hancur untuk kedua kalinya. Ada perasaan trauma yang menghatui Liya saat ini, jadi ia tak ingin begitu bahagia. Untuk apa berbahagia jika hanya untuk sementara.

"Wah, anak mama cantik." Puji Syafa yang melangkah mendekati Liya. "Kok muka di tekuk? Gugup ya?" Tegur sang mama saat melihat wajah cantik Liya justru murung.

Liya menggeleng menolak ucapan sang mama. "Enggak! Liya bahkan ngak gugup sama sekali." Jawabnya.

"Terus kenapa wajah gitu?"

"Liya takut ma," lirih gadis itu menatap hawatir bayangan cantik di cermin riasnya, wajahnya sendiri.

Kening Syafa berkedut, mencoba memahami ucapan Liya. "Takut? Takut kenapa?"

Liya mengalihkan pandangannya, menatap sang mama lurus dengan sedikit mendongak wajahnya. "Alif ngak akan pergi seperti Deni kan ma?" Gumamnya.

Syafa melihat mata itu lagi, mata yang selama empat tahun ini Liya pertahanankan dalam kesedihannya. "Ya ampun sayang, ngak boleh mikir gitu ah." Ucap Syafa menegur, Liya hanya diam memandanginya. "Percaya deh, Alif itu akan menjadi suami kamu sampai tua dan menemani kamu di surga." Rujuk Syafa, mencoba menangkan Liya sambil mengusap wajah putrinya itu lembut.

Cinta AlifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang