26° |Rencana Aleta|

391 65 4
                                    

Doni meletakkan ponselnya di nakas, seharian menemani Alif mencari informasi tentang keberadaan Kita membuatnya ingin segera merendam diri di buth up. Laki-laki itu masuk ke kamar mandi dan mengisi buth up dengan air panas.

Setelah mastikan semua siap. Laki-laki itu berjalan keluar kamar mandi dan melepaskan helai demi helai pakaian yang ia kenakan. Doni menghela malas saat ponselnya berdering, padahal ia baru saja hendak masuk ke kamar mandi. Laki-laki yang kini hanya menggunakan booster itu menarik ponselnya.

"Aleta," guming Doni malas.

Doni bersuara berat. "Apa lagi, Aleta?" sayangnya itu bukan sapaan yang lembut bagi seorang perempuan.

"Biasa aja kali nadanya," seru Aleta di seberang ponsel yang tak kalah sewot. Gadis itu melepaskan jas putihnya dan menggantungnya dengan rapi. Aleta memilih duduk di kursi kerjanya.

Decakan kecil keluar dari bibir Doni, tanganya memberikan reaksi kecil di kepala, menggaruk kepalanya yang tak gatal namun lebih tepatnya karena gusar. "Ini udah malam Aleta, dan aku baru mau mandi. Udah dulu, ya. Gue tutup."

Aleta melonjak. "Jangan!" Suara keras Aleta memekik di ponsel Doni membuat laki-laki itu buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinga. Aleta tidak lagi harus membiarkan Doni mengabaikannya, karena hanya Doni yang bisa membantunya saat ini.

Doni menggaruk kepalanya gusar, kesal namun tidak tega jika harus menutup ponggilan itu sepihak. "Ok, besok gue kirim orang ke sana buat bantuin masalah lo. Disini gue juga ada masalah tau," gerutu Doni kesal.

"Soal istri dokter Alif, kan?" terka Aleta, suaranya mencicit.

Alis Doni bertaut. "Heh? Lo kok tau?"

Aleta memhehala napas pelan, dan mulai menceritakan apa yang sedang terjadi di tempatnya. Hal itu jelas membuat Doni shock.

"Aleta, ini serius?"

"Gue serius Doni." Aleta menandaskan dengan tegas, penjelasan yang panjang lebar seperti tak mempunyai meyakinkan Doni. Aleta mendengus, menyadari jika dokter yang pernah menjadi senior ditempat magangnya dulu hanya meningat hal jelek-jelek tentangnya. "Terserah mau percaya atau ngak, tapi dengar ini baik-baik," Aleta membuat jeda diantara kalimatnya beberapa deti kemudian melanjutkannya. "Besok Liya akan di bawa pulang ke rumah, gue ngak tau siapa namanya, yang jelas dia minta gue buat jadi dokter pribadi Liya. Tapi masalahnya --- gue ngak akan bisa jadi dokter pribadinya Liya kalau ngak ada yang gantiin gue di puskesmas ini."

"Ribet amat rencana lo, Let. Minta alamat si Deni langsung kenapa?" seru Doni.

"Deni itu siapa?"

Doni mendeliki kesal. "Itu loh, laki-laki yang bawa Liya. Itu pasti Deni, siapa lagi?" ketus Doni.

Aleta menjawab dengan nada setengah mengomel. "Ya kali gue minta langsung, ketahuan kali. Lagian ini puskesmas bukan rumah sakit yang punya semua data. Jadi satu-satunya pilihan terbaik, ikuti rencana gue. Gue akan ikut Liya, nanti gue kabarin alamatnya kalau gue udah di sana."

Doni mengehela napas, pasrah. "Baik, gue langsung ke Puncak bersama Alif."

"Malam ini juga?"

"Ya terus? Apa harus nunggu besok? Ya, kali." balas dumel Doni.

Terdengar decakan kesal dari sebarang ponsel. Ingin rasanya Aleta memaki dokter muda itu dengan kasar, sadar jika dirinya masih membuatkan bantuan membuatnya harus menahan emosi dan menarik napas panjang berubah penuh penekanan. "Dokter Doni yang terhormat, bukan itu jalan keluarnya. Gue butuh dokter pengganti di puskesmas. Kalau ngak ada pengganti gue ngak akan bisa jadi dokter pribadinya Liya. Paham." jelas Aleta, suaranya meng-intonasi penuh penekanan.

Cinta AlifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang