Semula kebiasaan Liya setiap pagi hanya itu-itu saja, tentang menyiapkan segala kebutuhan sang suami dan memanjakan Alif sepulang kerja. Namun setelah mendapat job dari sebuah galeri lukis, kini Liya harus membagi waktu untuk mengurusi Alif dan menyelesaikan target waktu lukisannya.
Beberapa malam ini Liya lembur, mengerjakan lukisan terbarunya. Lukisan seorang perempuan dengan paduan warna abstrak, perempuan dalam lukisan Liya terlihat duduk simpu dengan wajah datar menatap ke depan. Lukisan dengan nilai seni yang indah, dan teka-teki dari raut wajah yang tak bisa di tebak.
"Malam," sapa seseorang sambil menutup pintu kamar pelan membuat Liya teralih dari kesibukannya.
"Udah balik?" Balas Liya melepaskan alat lukisnya, tangannya masih belepotan dengan cat. Perempuan itu membalikkan badannya, ia bisa mengenali suara yang menyapanya. Suara merdu milik suaminya, Alif.
Alif mengangguk kecil, ia mendekati sang istri. "Kamu udah makan?" Tanya Alif dengan perhatian, mata hitamnya melirik hasil lukisan sang istri. Pujian terlontar dalam hatinya, lukisan Liya sangat menarik dan punya daya tarik.
Melihat Alif menikmati lukisannya, Liya tersenyum kecil. "Tanggung, dikit lagi selsai kok." Jaway Liya yang kembali memoles cat hitam di ujung kuasanya pada bagian rambut wanita di lukisannya.
Alif menarik kursi kecil di samping Liya lalu ikut duduk di samping sang istri. "Kerja itu boleh tapi harus jaga kesehatan juga loh." Timpal Alif.
Liya tersenyum simpul, anggukan kecil ia berikan sebagai jawaban. Liya melirik jam dinding di kamar mereka. "Baru jam delapan, kamu ngak ada sip malam?" Balas Liya bertanya.
"Ada yang gantiin aku," jawab Alif lemas membuat Liya menatapnya hawatir.
"Kamu kenapa? Sakit?" Liya mengecek kening Alif dengan punggung tangannya, tapi badan Alif sama sekali tidak panas.
Alif menatap Liya memelas, menahan tangan Liya yang masih melekat di keningnya, meski tangan Liya masih belepotan dengan cat.
"Ia," jawab Alif membuat kedutan tipis di kening Liya.
"Tapi badan kamu ngak panas. Sakit apa?" Liya semakin menatap sang suami hawatir.
Tangan Alif yang bebas menyentuh bagian dadanya membuat mata hazel Liya mengikuti tangan Alif. "Sakit menahan rindu." Jawab Alif sambil mengulum senyum pada Liya.
Liya berdecit, menarik tangannya yang masih Alif tahan. "Alif, aku kirain kamu beneran sakit loh." Gerutu Liya dengan kesal.
Alif terkekeh geli. "Aku serius, sakit karena rindu itu memang ringan tapi bisa menyebabkan kematian." Sahut Alif dengan raut serius.
Liya mendelik. "Kematian?" Perempuan itu tertawa geli sambil menggeleng-geleng menatap heran Alif. "Ada-ada aja kamu," lanjutnya masih dengan senyum gelinya.
Liya menarik tisu yang ada di dekatnya dan mengelap cat di tangannya, noda cat itu tak hilang hanya membuat warna di tangannya sedikit samar. Liya beranjak dari tempat dudukannya, namun baru hendak berjalan gadis itu kembali terduduk sambil memegang kepalanya.
"Kamu kenapa?" Tanya Alif khawatir, perempuan di depannya meringis pelan.
Alif berdiri, laki-laki itu memegang kepala Liya lalu memijat lembut bagian pelipis hingga kepala atas telinga. "Gini-gini nih kalau bandel," Omel Alif.
"Kayaknya masuk angin deh," sahut Liya yang kini menikmati pijatan lembut tangan Alif.
Alif menghentikan gerak tangannya, laki-laki itu berjongkok di depan Liya dan menatap perempuan itu lurus. "Masih pusing?"
"Dikit," jawab Liya lemas. "Perut aku juga mual." Keluh Liya.
"Mag kamu pasti kambuh karena kamu telat makan, bandel sih!" Ucap Alif dengan nada mengomel membuat Liya hanya bisa diam dengan rasa bersalahnya. "Ya udah, kamu rebahan dulu ya." Rujuk Alif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...