3° |Kebiasaan|

1.5K 134 1
                                    

Satu minggu sudah berlalu, pertunangan Liya dan Alif menjadi wacana dalam keluarga keduanya. Baik keluarga Alif maupun Liya kini semakin kiat untuk mempersiapkan hari pernikahan Liya dan Liya yang akan di laksanakan dua minggu lagi, bagi Liya itu sangat dadakan.

Liya bahkan belum siap untuk banyak hal, termasuk membuka hatinya untuk Alif. Hati bukan perkara mudah, meski mamanya selalu bilang jika cinta akan tumbuh seiring waktu. Bagi Liya hanya ada satu orang dalam hatinya dan itu adalah cinta pertamanya, Deni. Sangat sulit membuka hati untuk yang lain, meski pun itu laki-laki sebaik Alif.

Liya terengah dari tidurnya, dan gadis itu mendudukkan tubuhnya lalu mengedarkan pandangannya pada sekeliling. Setiap sudut ruang tamu tak terlewatkan oleh mata Liya, gadis itu baru ingat jika ia ketiduran di sofa. Keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat, dan ketakutan terpancar dari mata hitamnya.

"Deni, sebenarnya kamu masih hidup atau__," lirih Liya menangkup wajahnya yang frustasi. "Hikss, hiks, hiks." Sesak di dada Liya memancing emosi, gadis itu tak kuasa menahan air matanya.

Ini bukan pertama kalinya ia bermimpi buruk tentang Deni, suaminya itu selalu datang di mimpinya dan meminta pertolongan seolah ia kesakitan. Itu menyiksa Liya, dan hanya menangis yang bisa ia lakukan setalah bermimpi buruk tentang Deni.

"Liya," seseorang membuat Liya terkejut dan cepat-cepat mengusapi pipinya yang basah. Gadis itu memalingkan wajahnya dari laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu, entah kapan Alif berada di dekatnya.

Kening Alif berkerut, tak biasanya Liya membuang muka darinya. "Kamu kenapa?" Tanya Alif menatap heran pada Liya.

Gadis itu menggeleng kecil, merasa air mata sudah cukup kering baru Liya berani menatap Alif yang kini memandangnya hawatir. "Aku baik-baik aja, kamu ngapain kesini?" Kilah Liya.

Alif tersenyum kecil. "Ini kan jam istirahat. Aku juga mau anterin ini," sebuah bungkusan Alif letakkan di meja.

Liya menatap penasaran pada bungkusan putih yang Alif bawa. "Apa?" Gumamnya.

"Kue buatan aku." Jawab Alif semangat.

Liya terperangah, tak percaya jika Alif bisa memasak. Apa lagi sampai membuat kue, Alif kan seorang dokter. "Kamu bikin kue?" Liya menatap ragu pada Alif.

"Ya, baru belajar sih." Jawab Alif dengan senyum kecilnya sambil mengeluarkan kue buatannya dari bungkus.

Ku bolu pelangi itu terlihat enak, bahkan Liya sudah terbuai menatap warna warni bolu.

"Kue itu mengenyangkan, jadi kalau kamu ngak nafsu makan bisa makan kue buatan aku." Ucap Alif, laki-laki itu mengambil potongan kue. Ia sengaja memotongnya dirumah agar Liya bisa langsung mencicipinya. "Buka mulut!" Suruh Ali.

"Aku bisa sendiri," Liya mengambil potongan kue di tangan Alif dan menggigit ujung bolu untuk mencicipinya. Sangat nikmat, bahkan satu gigitan tidak memuaskan Liya.

Satu alis Alif tertarik naik, ia baru sadar jika wajah Liya begitu pucat. Alif meletakkan punggung tangannya di kening Liya. "Badan kamu panas, kita kerumah sakit." Panik Alif, namun dengan cepat Liya menarik tangan Alif dan menolak ajakan laki-laki itu dengan gelengan.

"Aku ngak apa-apa, tiduran bentar juga udah baikan. Tenang aja," Jawab Liya, gadis itu tersenyum lesu.

Alif seorang dokter, dan ia sangat tahu jika demam tidak semudah itu turun. Hal terpenting yang perlu selalu di ingat, demam bisa membahayakan jika terlalu tinggi.

"Liya, demam kamu bisa semakin tinggi jika tidak di tindak lanjut." Ujar Alif hawatir.

"Aku punya semua obat di kamar, jadi aman." Jawab Liya kekeh, gadis itu meletakkan sisa potongannya kue yang ia cicipi setalah napsu makannya hilang.

Cinta AlifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang