Hampir satu minggu sudah Liya dan Alif berada di negeri Jiran, Alif harus menyelesaikan penelitiannya bersama beberapa dokter dari beberapa negara di rumah sakit ternama di Malaysia. Liya yang semula tidak berencana untuk ikut dipaksa mama dan papanya untuk ikut, sekaligus pergi honeymoon menurut kedua orang tuanya. Sesil dan Kanza kini ditemani mama dan papa Liya, jadi tidak ada yang perlu mereka hawatirkan, apa lagi Kanza memang sudah tidak lagi meminum asi, balita yang berusia hampir dua tahun itu kini sudah mengkonsumsi susu sepenuhnya dan ditambah asupan nutrisi lainnya.
Liya membentangkan kedua tangannya, menghirup udara di area balkon kamarnya. Rasa syukur selalu ia panjatkan, dulu banyak yang mengusik hidupnya namun perlahan semua menjadi jelas. Liya tak lagi dihantui masa lalunya, setelah kejadian beberapa waktu lalu dirinya mulai menyadari untuk siapa dirinya bertahan selama ini. Bukan untuk masa lalunya, melainkan untuk seseorang yang membantu menemukan jalan ke masa depannya yang lebih baik.
Perempuan itu terkesiap satu tangan menusup di antara dua tangannya, lalu melingkari tubuh mungilnya. Liya merasakan kecupan di pucuk kepalanya.
Liya tersenyum pelan, memutar badannya hingga wajahnya berhadapan dengan dada bidang yang memiliki aroma khas laki-laki yang selalu menemaninya tidur. Liya mengangkat wajahnya menatap wajah sang suami.
"Em, manisnya." ucap Alif, mandangin lekat wajah istrinya. Senyum Liya selalu membuat hatinya teduh, apalagi tatapan lembut perempuan itu.
"Gombal," tandas Liya, memasang raut malas.
"Ih, PD banget, orang aku bilang kopinya yang manis." sahut Alif, menyeruput kopi di tangannya. Lalu kembali menatap Liya dengan senyuman jahil.
Perempuan itu merengut sebal, sungguh ia berharap pujian itu terlontar untuknya. Ya walau pun semula memasang wajah sebal, namun itu hanya pengalihan saja agar dirinya tidak terlalu terlihat berlebihan dengan pujian sang suami.
"Tapi kalau ngak ada tambahan senyuman kamu, ngak akan semanis ini." lanjut Alif menggoda.
Liya terkekeh pelan, perlakuan manis sangat suami selalu bisa membuatnya luluh. Semarah apa pun dirinya, amarah itu akan sirna saat Alif menggodanya.
"Oh, ya. Gimana hubungan Aleta sama Doni?" tanya Liya, perempuan itu menatap sang suami lurus.
Alif mencebik bibirnya sesaat lalu menyeruput kopinya. "Aku udah suruh Doni buat segera melamar Aleta, sebab yang aku lihat. Idrus juga naksir Aleta."
"Sungguh?" gumam Liya tercengang.
Alif mengangguk kecil. "Ia, beberapa kali aku lihat dia ketemuan sama Aleta di rumah sakit."
"Wah, Doni harus gerak cepat tuh." seru Liya dengan nada mengimbau.
"Aku udah peringatkan Doni, kok. Yang namanya jodoh maut kita ngak tau, tapi kita dituntut berjuang di setiap apa yang kita inginkan." Kata Alif santai, laki-laki itu menyeruput kopi kembali.
"Ia, kayak kamu." Alif mengernyit dahi, menatap sang istri bingung. "Makasih karena selalu sabar dan berjuang buat aku sampai saat ini, aku harap kamu ngak pernah dan bosan sama aku." ujar Liya dengan senyum manisnya.
Alif tersenyum sumringah, mengecup kening Liya dengan lembut. Kehangatan itu sampai pada Liya, "karena kamu pantas untuk diperjuangkan, sampai maut memisahkan kita akan selalu bersama. Aku janji, seperti kisah nabi, tidak akan ada Khadijah lain dalam cinta aku selain kamu." tutur Alif dengan tenang.
Liya sungguh dibuat terharu dengan kata-kata pujian Alif. Perempuan itu memeluk tubuh Alif dan mendekap di dada bidang sang suami.
"Habis aku kerja kita jalan-jalan, aku udah dapat info tempat-tempat terbaik di sini." ucap Alif, laki-laki itu tersenyum kecil memandangi pemandangan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...