Pagi yang dingin membangunkan Liya dari lelap dan selimut tebal yang menutupi tubuhnya, perempuan itu membuka mata dengan sayup-sayup dan memandang berat atap kamarnya yang putih.
Liya mengalihkan tatapannya ke nakas untuk melihat jam weker, sesiang itu kah ia bangun. 07.12, biasanya Liya tak bangun selambat itu. Perempuan itu mendudukkan tubuhnya dan menyenderkan nadanya di kepala king size. Meski sudah begitu terang namun hawa dingin membalut kulit Liya, itu mungkin karena cuaca yang redup dari biasanya.
"Udah bangun?"
Perempuan itu mengeyah senyum lebarnya saat mendapati sang suami berjalan mendekatinya dari arah pintu masuk.
"Kamu masih mengambil cuti, apa tidak masalah terlalu sering?" Liya menatap sang suami tak yakin, cemas jika dirinya hanya membuat Alif kerepotan hingga harus melalaikan pekerjaan yang begitu ia cintai.
Alif menyendok bahunya, laki-laki itu duduk di bibir king size. "Papa bilang, aku pokus aja sama kamu." Jawab Alif, menatap sang lurus.
"Padahal dulu kamu paling ngak bisa ninggalin pekerjaan, dedikasi terbaik kamu untuk pasien udah pergi?" Tanya Liya dengan senyum menggurau.
Alif terkekeh, tangan kekarnya terangkat mengacak gemas puncuk rambut Liya. "Sekarang aku akan mendedikasi diri ku khusus untuk istri dan calon anak ku."
Liya mencebik malas. "Em, bisa aja jawabnya." Perempuan itu menimpali tangan Alif dan menggenggamnya. "Makasih," ujar Liya dengan senyum yang manis di bibir tipisnya.
Alif mengangguk pelan, "hal terindah yang belum pernah aku bayangkan, memiliki seorang anak." Ujar Alif, laki-laki itu tersenyum tipis.
"Aku pun rasa belum percaya jika sebangar lagi akan menjadi orang tua." Liya menarik tangan kekar sang suami dan meletakkan kedua tangan mereka di atas perutnya yang masih rata. "Dia akan jadi kado terindah untuk pernikahan kita."
Liya tak mampu menutupi rasa bahagia itu,air mata karena haru pun mampu melewati pipi chabinya. Cepat-cepat Liya menyeka air matanya yang hampir kembali lolos, "udah ah. Jadi melow akunya," gumam Liya manja, perempuan itu tertawa kecil saat Alif mengelus pipinya.
"Sesil udah ke kampus?" Lanjut Liya.
Gadis itu tak boleh terlambat ke kampus, apa lagi ia sangat baru di kampus kedokteran itu. Alif tertawa kecil saat mendapati wajah cemas sang istri.
"Ngak usah hawatir, pagi ini dia berangkat lebih cepat karena ada kuis." Timpal Alif membuat Liya terlihat lega. "Anak itu pasti akan menjadi orang sukses dengan ketekunannya."
"Amin," sahut Liya dengan tulusnya.
Perempuan itu tersenyum senang, Alif sama seperti dirinya. Kehadiran Sesil dirumah membuat mereka merasa miliki keluarga, tepatnya seorang yang harus mereka perhatikan seperti seorang adik.
"Ya udah, sekarang waktu kamu sarapan. Udah cuci muka?"
Liya menggeleng pelan, perempuan itu tersenyum manja. "Aku cuci muka dulu," Liya menyibak selimut yang masih menutup ujung kakinya, perempuan itu hendak beranjak dari king size namun tiba-tiba kepalanya sakit membuat sirinya hampir ambruk kelantai.
Untungnya dengan sigap Alif menahan tubuh Liya, "Kenapa?" Tanya Alif cemas, Liya menggeleng-menggelengkan sambil memijit kepalanya.
"Entah lah, kepala ku tiba-tiba pusing." Jawab Liya lemas.
Alif mendudukkan sang istri di tempat tidur, Liya terlihat lemas dari sebelumnya. Alif menarik satu tangan Liya dan membuka lebar tapak tangan tersebut, laki-laki itu menatap Liya semakin cemas.
"Aku ngak apa-apa, mungkin karena bangun terlambat jadi agak sedikit pusing." Liya menggenggam tangan Alif dan tersenyum untuk meyakinkan. Perempuan itu hendak kembali beranjak namun dengan cepat tangan Alif menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...