Tak berselang lama dari kepergian Idrus, Elsa datang dengan dua gelas minuman dan beberapa cemilan di nampan yang dibawanya.
"Kak Idrus udah pergi?" Tanya Elsa saat sudah meletakkan makanan di meja, di depan Alif dan Liya. Perempuan itu mencebik malas setelah Alif memberi anggukan. "Dia mah kebiasaan, suka pergi ngak pakai pamit." Gurau Elsa.
"Dia pamit kok sama kita." Sambung Liya dengan senyum kecilnya.
Elsa balas tersenyum, ia mengangguk untuk memberi isyarat jika ucapannya hanya guyonan. "Ayo, silahkan di minum dan dimakan. Tapi maaf, hanya ala kadar saja." Tuturnya sopan.
"Makasih Sa, ini lebih dari cukup kok." Sahut Liya.
Perempuan itu mengambil salah satu kue bolu yang Elsa hidangkan, namun baru memasukkan sebagian ke mulutnya rasa mual mengerang perut Liya membuat perempuan itu dengan cepat melepas kue bolu dari tangannya dan menahan mulutnya yang meruam.
"Kamu kenapa?" Tanya Alif cemas.
"Bawa kekamar mandi Lif, biar aku ambil minyak kamu putih." Suruh Elsa, perempuan itu langsung berlalu.
Alif pun lekas membawa Liya kekamar mandi, sesampai di kamar mandi Liya langsung membiarkan rasa mual itu mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Sarapan yang tadi Liya makan, seakan terkuras habis dari dalam perutnya. Ala hasil, Liya menjadi lemas setalah muntah-muntah.
Alif membantu menahan tubuh Liya yang masih bersanggah di wastefel. Liya mencuci wajahnya, lalu menarik tisu di sampingnya.
"Biar aku aja." Ucap Alif, laki-laki itu mengambil tisu dari tangan sang istri dan mengusap lembut wajahnya Liya yang basah. "Masih terasa mual?" Tanya Alif penuh perhatian.
Liya menggeleng lemas, wajah perempuan itu kini kembali pucat pasi seperti pagi tadi. Hal itu membuat Alif kian cemas dengan kondisinya.
Elsa yang datang langsung menyorotkan minyak kayu putih yang ia bawa kepada Alif. "Nih Lif, gosok ke tengkuknya." Suruh Elsa. "Sebaiknya kamu periksa kondisi istri kamu dulu Lif, bawa dia ke kamar tamu untuk istirahat." Saran Elsa.
"Aku ngak apa-apa kok." Sambung Liya lemas.
"Ngak apa-apa gimana? Kamu pucat banget," sahut Elsa kawatir, perempuan itu menatap Liya iba.
Liya menahan lengan Alif yang hendak mengangkat tubuhnya, ia sangat tahu apa yang ingin Alif lakukan. "Ngak usah di gendong Lif, aku masih bisa jalan kok." Tolak Liya.
Alif tak seakan tak mendengar tolakan Liya, ia tetap mengangkat tubuh Liya ke dalam gendongan. "Kamu bisa jangan keras kepala di saat seperti ini." Tegas Alif membuat Liya sekita diam.
"Biar aku ambilin air hangat untuk Liya minum, kamu langsung bawa Liya ke kamar tamu." Suruh Elsa.
Tatapan tajam Alif mampu mengunci mulut Liya, perempuan itu menggelayut satu lengannya ke pundak Alif. Seakan sudah hafal dengan tempat itu, Alif membawa istrinya keruang tamu yang Elsa minta.
Alif membaringkan tubuh Liya yang masih lemas di tempat tidur, "coba buka mulut kamu," pinta Alif, perempuan itu menurut dengan patuhnya. "Keluarkan lidah kamu," ujar Alif sesudahnya.
Liya memelerkan lidahnya, membiarkan Alif mengecek kondisinya. Kadang Liya berpikir, entah apa yang para dokter perhatikan saat dirinya menjulur maju lidahnya. Setelah memperhatikan lidah Liya untuk beberapa detik, laki-laki itu menarik salah satu pelupuk mata Liya bagian bawah.
"Kepala kamu masih pusing?" Tanya Alif sesudahnya, ia menatap sang istri penuh perhatian. Bukan hanya sebatas dokter pada pasien pada umumnya, perhatian itu lebih menunjukkan jati dirinya sebagai seorang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Alif
Romance"Cerita ini telah diikutsertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua" Natasya Apriliya, gadis itu tak pernah menyangka jika perjalan rumah tangganya dengan Deni Afriansyah, orang yang ia cinta harus begitu pahit. San...