08

21.1K 1.6K 22
                                    

Mengenang Masa Lalu Mereka
.

.

.

Hari ini, Haidee memilih tak masuk ke kelas masak. Ia memberitahu Saski jika sedang ada keperluan jadi tak bisa masuk hari ini.

Karena Haidee memilih pergi bersama Marshal.

Keduanya memilih ke tempat makan lebih dulu. Makanan laut.

Haidee menikmati setiap cerita yang dilontarkan Marshal. Kata pria tersebut, jika sudah lama tak memakan ikan apapun. Baru kali ini.

Enam tahun Marshal meninggalkan tanah air, enam tahun juga ia tak memakan makanan laut. Begitu pun, enam tahun lamanya ia meninggalkan Haidee.

Tatapan mata Marshal tertuju pada Haidee yang makan dengan lahap.

Ingatan Marshal kembali ke masa lalu, ia tak pernah melihat pemandangan seperti ini. Jika mereka berdua makan, pasti hanya Marshal yang makan. Sedikit pun Haidee tak makan dan di akhir pekan Haidee akan berolahraga habis-habisan. Katanya ingin menguruskan badan, padahal badan Haidee sudah sangat kurus. Bahkan sudah seperti orang gizi buruk.

Melihat kondisi Haidee saat ini membuat Marshal bersyukur. Setidaknya kecemasannya selama ini tidak terjadi. Haidee bisa hidup tanpa dirinya dan berubah.

"Kamu... ke psikiater, Dee?" tanya Marshal setelah mereka berada di dalam mobil. Mereka berencana ke toko buku.

Sudah dari kemarin Marshal ingin menanyakan hal ini, tapi ia ragu. Karena rata-rata orang merasa sensitif jika di singgung soal dokter psikiater.

Haidee mengangguk pelan menjawab pertanyaan Marshal, "Sejak Kak Marshal pergi, aku ke Psikiater. Aku pikir, Kakak ninggalin aku karena aku ngeyel yang gak mau ke dokter psikiater dan aku berharap setelah aku ke sana, Kak Marshal bakal balik, tapi enggak."

Atmosfer di antara mereka mendadak suram. Marshal tak menoleh sedikitpun, lehernya tiba-tiba kaku. Ia hanya mampu melirik Haidee yang pandangannya lurus ke depan.

Marshal merasa tertohok dan bersyukur dalam waktu bersamaan. Karena meninggalkan Haidee mampu membuat wanita itu tersadar dan akhirnya ke psikiater.

"Sekarang masih?" Marshal meneguk liurnya susah payah setelah menanyakan hal tersebut. Bagi penderita kelainan anoreksia nervosa yang cukup akut, pasti butuh waktu agak lama bagi Haidee ke psikiater.

"Udah enam bulan gak ke sana. Terakhir kali aku ketemu dokter psikiater yang menenangani aku, dia bilang aku udah gak takut makan lagi, dan gak perlu kembali ke sana. Kecuali, kalau nanti tiba-tiba aku merasa takut makan lagi, baru lah aku kembali ke sana. Tapi, selama enam bulan ini, aku baik-baik saja."

Anoreksia nervosa yang diderita Haidee cukup parah. Membatasi makannya, menjalani diet yang ketat dan berolahraga setiap saat agar mendapatkan tubuh yang ideal. Padahal kenyataannya badannya sudah kurus kerempeng.

Ini karena Haidee sejak kecil yang memiliki badan yang gemuk, hingga usia remaja.

Kedua orang tua, apalagi kedua kakaknya selalu mengkritik berat badannya. Bahkan kedua kakaknya memanggilnya, 'Kuda Nil', 'Badak', 'Babi'. Kata terakhir sangat membuat Haidee terluka, apalagi jika mengingat perkataan Papi.

Pantas saja kakak-kakakmu panggil kamu, babi! Emang bukan badan mu yang mirip babi, tapi otak mu juga! Gak ada otak kamu! Di kepala kamu ini cuma, makan! Makan! Makan! Dasar babi!

Sungguh, perkataan Papi saat itu membuat batinnya terluka. Haidee hanya mampu menunduk dalam dan mengepalkan kedua tangannya. Menahan tangisnya. Harusnya, Papi tak mencaci maki dirinya karena mendapatkan nilai akamedik yang buruk. Harusnya Papi memberinya semangat, bukan malah semakin menyudutkannya.

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang