06

25K 1.5K 15
                                    

Aku Percaya Kamu, Dia Cuma Temanmu, Kan?

.

.

.

Haidee mengedarkan pandangannya memasuki kafe yang sudah berdiri satu dekade lebih ini. Kafe yang tidak pernah ia kunjungi setelah sekian lama.

Padahal tempat ini adalah tempat favoritnya, apalagi di sudut kafe khusus orang yang ingin menyendiri.

Tentu saja perubahan kafe ini sangat berbeda dari terakhir kali ia ke sini. Dan sudut kafe yang biasa ia tempati tidak ada lagi.

Pengunjung kafe ini begitu ramai, padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Sudah banyak yang menikmati cappucino caramel yang menjadi menu andalan kafe ini semenjak di bangun.

Matanya mengedar mencari sosok yang menunggunya. Hingga ia menemukan sosok Marshal yang langsung melambaikan tangan saat melihatnya.

Ia pun menghampiri Marshal dan duduk di hadapan pria itu. "Aku kira kamu tersesat." Haidee mengulum senyum mendengar sindiran Marshal karena datang terlambat dari waktu yang ia janjikan. Terlambat tiga puluh lima menit. Bukan hal yang wajar, jadi ia meminta maaf.

"Maaf Kak. Tadi aku dua kali batalkan pesanan taksi karena mereka terjebak macet. Jadi aku ke sini naik bis."

"Kan aku udah bilang mau jemput kamu. Ngeyel sih." Haidee hanya tersenyum tipis menanggapi gerutu Marshal.

"Aku udah pesenin kamu. Pasti bentar lagi datang." Gerakan Haidee yang ingin mrmanggil pelayan berhenti, ia menatap Marshal dan berterima kasih. "Gak berubah kan kesukaan kamu?" Haidee mengangguk pelan.

Dan seperti yang dikatakan Marshal. Gelas kaca berukuran tinggi berisi jus alpukat serta secup es krim vanila di atasnya dan dessert berupa tiramisu matcha. Marshal tak melupakan menu favoritnya di kafe ini.

"Masih enak kayak dulu," komentar Haidee tentang minuman dan makanan di hadapannya setelah mencobanya.

"Makanya kafe ini gak gulung tikar bahkan menyebar ke seluruh Nusantara. Pengunjungnya gak sepi," ujar Marshal sembari menatap lamat-lamat Haidee yang menikmati tiramisu matcha tersebut.

"Apa semua kesukaanmu gak berubah?"

Haidee menatap Marshal, menelan lebih dulu sebelum menjawab, "Aku masih suka baca novel yang sad ending. Aku masih suka nonton film If I Stay, walaupun udah puluhan kali, aku tetep nangis kalau nonton film itu. Aku masih suka..."

"Aku. Apa masih?"

Haidee terdiam mendengar Marshal yang memotong perkataannya.

Keduanya saling bertatapan cukup lama. "Sejak Kak Marshal pergi ninggalin aku enam tahun yang lalu di tempat ini. Salah satu kesukaanku berubah,"ujar Haidee tenang lalu tersenyum kecil.

Marshal mengangguk pelan, ia menunduk memainkan cup cappucino miliknya yang sudah setengah. "Maaf."

Haidee tersenyum kecil mendengar permintaan maaf Marshal. "It's okay. Semoga Kak Marshal gak lakuin itu lagi. Tentunya dengan orang yang berbeda. Pergi begitu saja dan memutuskan segalanya tanpa alasan jelas. Rasanya sangat sakit."

Ucapan Haidee begitu tenang tanpa ada emosi. Bagai air yang mengalir tenang. Tapi, mampu menohok Marshal dan perasaan bersalah semakin menghujamnya.

"Kak Marshal?" Marshal menegakkan kepala menatap Haidee. "Kenapa diem aja? Aku kira Kakak ngajak aku ke sini mau ngobrol banyak. Mungkin berbagi cerita?"

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang