24

21.3K 1.7K 25
                                    

Tentang Mimpi Buruk Saka
.

.

.

Terbangun dengan nafas tersengal-sengal, lalu menoleh ke sisi ranjang dan tak menemukan sosok yang menemani tidurnya semalam.

Dengan tergesa-gesa, bahkan ia tak memakai sehelai benang pun, ia keluar dari kamar mencari sosok tersebut. Lalu ia mengarah ke balkon. Tak ada sosok tersebut sehingga ia kembali berteriak frustasi.

"Mas!!"

Saka menoleh. Seluruh tubuhnya berkeringat, wajahnya yang frustasi tergantikan dengan kelegaan yang teramat dalam.

Tanpa kata ia menghampiri Haidee lalu memeluknya.

"Mas! Kenapa gak pake celana?!" Haidee merasa risih karena Saka telanjang dan memeluknya. Meronta. Ia berusaha melepas pelukan Saka, tapi pria itu enggan melepasnya.

"Jangan pergi.... please. Jangan tinggalin aku." Haidee terdiam seketika mendengar suara Saka yang begitu lirih. Sarat akan ketidakrelaan.

"Aku... aku gak bakal tinggalin, Mas." Haidee membalas pelukannya dan mengusap punggung polos Saka.

Tatapan Haidee berubah kosong. Lurus memandang lantai keramik yang dipijaknya.

Seakan seperti ditarik kesadarannya secara paksa. Saka tersentak dan melepaskan diri dari Haidee lalu menyadari jika ia telanjang. Merasa seperti orang gila.

Saka bagai orang linglung. Menoleh takut-takut ke arah balkon yang berjarak beberapa meter dari tempatnya lalu menatap Haidee yang menatapnya heran. Saka menggeleng pelan seraya menunduk.

Harusnya Saka tak bermimpi buruk karena semalam ia tidur begitu nyenyak karena kelelahan setelah 'bermain' dengan Haidee hingga berjam-jam.

Dan ia kembali teringat jika semalam   tak tidur nyenyak karena perkataan 'capek' yang dilontarkan Haidee berusaha ia cerna. Saka seakan tau jika makna 'capek' tidak lah sederhana itu.

"Mas..." Panggilan datar dari Haidee menyentak Saka. "Kenapa telanjang? Lari-larian kayak orang gila?" Saka meringis pelan lalu menyengir. Mimpinya begitu nyata sehingga ia kalang kabut karena tak bisa membedakan mana mimpi dan nyata.

"Mas mimpi buruk?" Cengiran Saka seketika lenyap mendengar pertanyaan Haidee. Saka hanya mengangguk pelan.

"Hm..." Haidee menggumam tidak jelas. Ingin bertanya, tapi ia sudah tau jawabannya. Saka tak akan membagi apapun. Jadi, percuma saja ia bertanya. Lalu tatapannya beralih sejenak dan tertuju pada tas kertas yang dibawa Aryani kemarin. Seketika ia merasakan panas di dadanya. Mengingat sikap wanita yang sok tau itu dan seperti meremehkannya karena tidak tau apapun tentang Saka.

"Itu barang-barang Mas yang ketinggalan di rumahnya Aryani," ujar Haidee datar sembari mengendikkan kepala ke arah tas kertas yang berada di atas sofa membuat Saka mengikuti pandangan Haidee. Perasaannya tiba-tiba tak karuan. Karena jika menyangkut Aryani maka mereka akan bertengkar.

Menunggu beberapa detik, Haidee mencercanya berbagai pertanyaan, tapi tidak ada sama sekali suara wanita itu. Malah Haidee melengos kembali melangkah ke dapur.

"Siapa yang bawa?"

Bego!

Saka mengumpat dalam hati. Kenapa ia bertanya seperti itu?

Tanpa menoleh Haidee menjawab. Menjawab begitu santai dan tanpa beban. "Harusnya Mas tau jawabannya. Gak usah nanya dan pura-pura gak tau."

Saka menegang di tempatnya berdiri. Mengabaikan dirinya yang masih telanjang. Sekali lagi mengumpat dalam hati. Yang ditujukan untuk dirinya.

Lalu Haidee menoleh menatap, membalas tatapan Saka. "Gak mungkin kan aku ke sana yang minta barang-barang kamu yang ketinggalan?" ujar Haidee datar lalu tatapannya turun ke bawah. Bagian tubuh Saka. "Mas gak kedinginan?"

Dan Saka tidak membalas satu pun kata. Segera ia masuk ke dalam kamar.

》》《《

Haidee dan Saka menikmati sarapan dalam diam. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Haidee menangkap beberapa kali lirikan Saka yang tertuju padanya. Tau jika pria itu ingin mengajaknya bicara.

Dengan inisiatif sendiri, Haidee yang mempersilahkan Saka untuk bicara. "Mas mau ngomong sesuatu?"

Saka tersentak karena Haidee tau jika ia ingin bicara. Berdehem kecil lalu ia meneguk air kemudian tatapannya kini sepenuhnya pada Haidee.

"Aryani ngomong apa aja sama kamu?"

Haidee tak langsung menjawab. Mengamati wajah memelas Saka.

Karena Haidee tak kunjung menjawab, Saka kembali berujar. "Dee, aku udah cerita semuanya. Gak ada yang aku tutupin. Sejak malam itu  waktu Aryani bohongin aku, aku gak pernah lagi berhubungan dengan dia. Bahkan aku udah blokir nomornya," jelas Saka.

"Gak ada yang Mas tutupin?" Kalau saja Haidee orangnya judes, mungkin ia akan berkata sinis. Tapi, hanya tanpa nada. Ekspresinya begitu dingin. "Aku masih merasa Mas belum sepenuhnya terbuka padaku."

Saka mengusap wajahnya kasar. Selalu saja Haidee dapat menebak tepat sasaran membuatnya membatu.

"Mas habisin sarapannya. Nanti Mas telat." Haidee melengos segera menghabiskan sarapannya. Mengabaikan Saka yang menatapnya dengan tampang frustasi.

"Apapun yang dikatakan Aryani itu bohong. Kamu jangan pernah percaya!" ujar Saka tegas walau Haidee tak menatapnya. Mengatakan hal tersebut agar Haidee tak salah paham.

"Kapan Mas sepenuhnya terbuka sama aku?" lirih Haidee tanpa menatap Saka. Mengabaikan kalimat yang dilontarkan Saka.

Sekali lagi Saka terhenyak. Lalu Haidee kembali menatapnya. "Minimal.... Mas bagi tentang mimpi buruk yang selalu mengganggu Mas."

Saka menunduk sejenak lalu menghembuskan nafas kasar, kemudian menegakkan kembali menatap Haidee. "Oke... jujur aja kalau aku gak kelelahan aku gak bisa tidur nyenyak... aku... selalu mimpi buruk. Mimpi buruk yang selalu terulang."

Entah kenapa Saka merasakan beban yang menyesakkan dadanya, sedikit terkikis saat mengatakan apa yang ia alami selama ini pada Haidee. Walau sedikit, tapi ia merasa lega.

"Sejak kapan?"

Saka yang tadi melamun, tersentak lalu kembali menatap Haidee. "Apa?"

"Sejak kapan Mas bermimpi seperti itu?"

Haidee menunggu Saka yang lagi-lagi enggan menjawab pertanyaannya.

Sebelum Saka menjawab pertanyaan Haidee. Ia menghela nafas terlebih dahulu. "Sebelum kita nikah... kurang lebih enam tahun."

"Mas... gak ke psikiater?" tanya Haidee hati-hati. Dan ia bisa melihat perubahan wajah Saka menjadi keruh.

"Kamu kira aku sakit jiwa, Dee?" Haidee menggeleng tegas. Saka saat ini mengingatkan dirinya beberapa tahun yang lalu saat Marshal menawarkan agar ia ke psikiater. Beranggapan jika menjadi pasien dokter psikiater adalah orang gangguan kejiwaaan.

"Bukan gitu, Mas. Apa yang kamu alami gak wajar. Apa kamu punya trauma? Sebenarnya mimpi yang Mas selalu alami apa?"

Hingga waktu lewat beberapa menit, Saka tak kunjung menjawab pertanyaannya. Haidee pun pasrah. Tak mendesak Saka. Segera ia menyuruh Saka menghabiskan sarapan, sementara ia berlalu ke depan sink. Memejamkan mata untuk meredakan sesak di dadanya.

.

.

.


Karna Nanas ga mau bikin kalian nunggu lama. Nanas bakal usahain up tiap hari.

Biar cerita ini kelar abis itu lanjut EXONERATE hihi

Eh ada yang nungguin EXONERATE ga nih?

Kamis, 18 Maret 2021

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang