BAB 17

1.1K 123 157
                                    

Saat Arinta keluar dari kamar mandi, dia memperhatikan seragamnya yang sudah basah itu. Beruntung dia memakai kaos hitam, jika tidak sudah dipastikan akan menerawang. Dia tak habis pikir dengan perilaku Novita dan Riris tadi, hanya karena tidak sengaja menabrak, balasan yang diterimanya sungguh menyakitkan hatinya. Menyakitkan? Yap! Karena Novita sempat mengatakan, jika dirinya tak pantas berada di sekolah ini dan masih banyak lagi lainnya.

Ingin marah, tentu. Namun, Arinta sadar akan posisinya. Bisa saja kalau dia melawan, posisinya di sekolah ini akan terancam karena Novita adalah anak dari pemilik yayasan sekolah. Tak mau berlama-lama hanya berdiri di depan kamar mandi, dia segera melangkahkan kakinya. Baru tiga langkah, Gibran datang menahannya.

"Ini ada seragam baru untuk Anda," ujar Gibran menyerahkan seragam yang baru dia beli tadi.

"Buat apa, Kak?"

"Ganti seragam yang Anda pakai sekarang dengan ini."

"Eh, nggak perlu, Kak. Gue pakai ini aja, bentar lagi juga kering."

"Anggap saja ini bonus dari saya, karena Anda bernyanyi dengan baik di kafe saya."

"Beneran nggak papa, Kak?"

"Sudah ambil saja dan ganti sekarang! Dari pada Anda masuk angin."

Sungguh, perkataan Gibran barusan membuat hati Arinta seakan melambung tinggi. Gibran sudah menjauh dari pandangan, dia lantas memeluk erat seragam itu dengan senyum merekah.

-----

Dengan mengentakkan kakinya kesal, Sherin memasuki kelas. Niat awalnya gagal, karena Gibran meninggalkannya sendirian di samping gudang.

"Gimana latihannya?" tanya Lia bernada jutek.

"Nggak jadi, Li." 

"Kok bisa?"

"Ya gitulah, ceritanya singkat cuma aku lagi males jelasin. Oh, ya, kamu ada lihat Arinta nggak?"

"Dia tadi habis kena amukan Novita."

"Novita siswi kelas sepuluh IPA tiga?"

Lia mengangguk, lantas memasang earphone yang sebelumnya di sambungkan pada handphone-nya. Lagu berjudul hal terdengar di telinganya, dia menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan di meja.

Ketika Sherin hendak duduk di bangkunya, Rizal memasuki kelas dengan tangan yang membentuk simbol hati, dan diarahkan padanya.

"Halo Sherin," sapa Rizal lantas menduduki bangku di sebelah Sherin.

"Hai." Hanya itu yang terlontar dari mulut Sherin.

"Jangan jutek-jutek dong, nanti cantiknya berkurang lho."

"Ya baguslah, dengan begitu kamu bakal berhenti ngejar aku."

"Nggak begitu juga konsepnya, Al!"

"Kok jadi Al, sih?"

"Anggap aja itu panggilan khusus dari gue. Lagi pula nama lo ada kata Al kan? Lebih tepatnya Aliesa."

"Terserah kamu, deh. Aku nggak in aja."

"Kenapa nggak iyain aja kayak orang lain bilang, biar gue seneng gitu."

"Karena aku adalah aku, bukan orang lain. Jadi, nggak harus sama kan?"

"Iya, sih. Al emang the best, gue jadi makin sayang."

Jika dilihat dari segi wajah, Rizal ini memang tampan. Apalagi dia mahir dalam hal olahraga, khususnya voli. Hal itulah yang membuat dia menjabat sebagai wakil ketua ekstrakurikuler voli, dan dia juga pernah menjadi ketua OSIS waktu SMP.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang