Di saat Gibran menginjakkan kaki di rumahnya, pertama yang dia lihat adalah Elsa—mamanya yang tengah duduk di kursi roda dengan pandangan lurus ke depan, dan sudut bibir yang melengkung ke atas.
Beberapa hari terakhir ini, Gibran merasa senang karena kata psikiater yang tak lain adalah omnya sendiri.
Elsa mengidap depresi distimia atau istilah lainnya depresi persisten, dimana depresi yang satu ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dan juga hipertensi yang dideritanya.
"Mama bagaimana kabarnya?" tanya Gibran.
"Mama sudah lebih baik, bahkan Mama sudah tidak membutuhkan kursi roda ini lagi." Elsa bangkit dari duduknya lantas memeluk erat putra semata wayangnya.
Gibran membalas pelukan itu, hingga tanpa sadar bulir air matanya jatuh begitu saja. Dia lantas menghapus kasar sebelum mamanya melihat.
"Oh, ya mama kan sudah sembuh. Jadi, urusan kafe biar mama yang urus. Kamu fokus sekolah saja." Elsa mengelus pucuk kepala Gibran.
"Tidak, Mah. Gibran masih bisa handel, mama istirahat saja di rumah."
"Nggak! Pokoknya lusa nanti mama mau kamu berhenti mengurusi kafe, karena itu sudah menjadi tanggung jawab mama, sayang."
Ketika Gibran hendak mengeluarkan suaranya, hal itu tertahan oleh pelukan yang kembali dia rasakan.
"Kalau kamu masih nolak, mama pergi dari rumah ini!" ancam Elsa.
"Baiklah, Mah, tapi ingat pesan Gibran, ya. Kalau mama jangan terlalu diforsir kerjanya, soalnya kata Om Cakra mama masih tahap pemulihan."
Mau tidak mau akhirnya Gibran menuruti permintaan mamanya, walau sebenarnya dia tidak tega padannya. Namun, dia tiba-tiba teringat perkataan omnya. Di mana dia mengatakan jika mungkin saat mamanya sibuk, beban masa lalunya akan sedikit terlupakan.
Usai perbincangan singkat itu, Gibran segera masuk ke rumah dan bergegas untuk membersihkan tubuhnya yang sudah terasa lengket itu. Apalagi di sekolah tadi dia banyak mengeluarkan keringat.
Terdengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi, pertanda jika Gibran sudah memulai ritual mandinya. Hingga tak lama kemudian dia keluar dengan kaos dan celana santainya. Dia lantas duduk di meja belajarnya, dan mengambil kertas yang tadinya sempat berada di tangan adik kelasnya.
Saat sebuah lagu sudah selesai dia ciptakan, handphone-nya yang masih di tas berbunyi. Ternyata ada panggilan dari Tasya. Dia lantas menyeret tombol hijau itu ke atas, dan terdengarlah suara Tasya dari balik sana.
Sekitar lima belas menit mereka teleponan, pembahasannya pun masih sama mengenai HUT sekolah. Hanya saja diakhir-akhir Tasya sempat menanyakan tentang Deni—playboy SMA Dharmawangsa sekaligus teman dekat Gibran.
Saat panggilan itu berakhir, Gibran menepuk jidatnya. Dia lupa menanyakan perihal partner-nya nanti di pensi. Tanpa basa-basi dia mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Tasya. Lima menit, sepuluh menit, hingga akhirnya pada menit kelima belas pesannya terbalas. Betapa terkejutnya dia saat melihat nama Sherin.
Namun, Gibran sudah terlanjur janji. Ditambah pembina OSIS yang sudah mengetahui hal itu.
Gibran lantas meminta nomor WhatsApp Sherin pada Tasya, tetapi ternyata dia sudah offline. Tiba-tiba saja dia teringat pada Arinta, mungkin dia akan meminta pada Arinta. Benar saja baru dua menit dia memberi pesan, Arinta sudah mengirimkan nomor yang dia minta.
-----
Dengan rambut yang masih basah, Sherin termenung di meja belajarnya. Pulang sekolah tadi, dia kesal dengan kakaknya. Bagaimana tidak? Niatnya dia ingin bermanja-manja dengan kakaknya sebelum kembali kuliah, tetapi sayang ketika sampai rumah. Dika—kakaknya sudah tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...