BAB 39

1.3K 117 121
                                    

Kini, Gibran sudah berada di ruang UKS sekolah. Sebab tadi setelah hampir saja terjatuh dan ditahan oleh Arinta yang baru saja masuk, Gibran langsung tak sadarkan diri lalu terjatuh dalam pangkuan Arinta.

Mengapa bisa Arinta masuk ke kelas Gibran? Karena ia diminta bantuan oleh salah seorang guru untuk memanggil Pak Eko, yang kebetulan sedang mengajar di kelas XI IPA 1.

Di dalam UKS pun Gibran tak sendirian, melainkan ada Arinta dan satu siswi anggota PMR yang kebagian untuk stand by di UKS.

"Saya harus kembali ke kelas," ujar Gibran saat baru sadar dari pingsannya.

"Jangan dulu, Kak. Kata Kak Vina, Kak Gibran harus istirahat dulu di sini," tunjuk Arinta pada siswi ber-name tag Vina yang tak lain adalah kakak kelasnya.

Seharusnya Arinta kembali ke kelas, tetapi ia justru menemani Gibran sampai sadar. Pasti setelah ini ia akan mendapatkan hukuman karena ketahuan membolos jam pelajaran. Walau pun bel istirahat tinggal beberapa menit lagi.

"Iya, Gib. Lo di sini dulu, nih gue buatin teh. Oh, ya, gue keluar bentar." Vina menyerahkan segelas teh hangat untuk Gibran lantas keluar dari UKS menyisakan Gibran dengan Arinta berdua saja.

Ketika Arinta hendak berbicara, Gibran pun sama. Alhasil Gibran yang mengalah dan membiarkan Arinta untuk berbicara terlebih dahulu.

"Gue mau izin nanti nggak ke kafe, ya, Kak. Soalnya gue mau ke rumah Sherin."

"Ke rumah Sherina? Baiklah saya izinkan, tetapi saya akan ikut dengan Anda."

"Kak Gibran kan lagi sakit. Nanti gue sendiri aja, Kak."

"Saya tidak sakit. Pulang sekolah nanti, tunggu saya di depan gerbang dan jangan sampai Anda ke sana sendiri atau mau saya berhentikan kerjanya?"

Tanpa sadar Arinta menggembungkan pipinya, membuat Gibran yang melihat tersenyum walau hanya sesaat.

"Kak Gibran sekarang mainnya ngancem, ya?"

"Saya tidak mengancam Anda, tetapi saya memaksa Anda."

"Sama aja, Kak."

Hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Arinta memutuskan untuk keluar dari ruangan. Namun, ditahan oleh Gibran. Hal itu membuat pandangan mereka saling bertemu, seolah Gibran sedang berbicara lewat tatapan matanya pada Arinta. Di mana hatinya sangat tulus mencintainya.

"Anda membolos jam pelajaran kelas demi saya?"

Arinta mengangguk sekilas. "Jangan salah paham, Kak. Gue di sini karena rasa kemanusiaan, bukan hal lain."

"Walau begitu, saya yakin sebenarnya rasa yang saya punya saat ini terbalas." Gibran tertawa sendiri dengan apa yang baru saja  dikatakannya.

Terlihat aneh bukan? Seorang Gibran yang diketahui jarang berdekatan dengan lawan jenis—kecuali keluarganya, sikap yang dingin dan tegas. Sekarang justru berbeda dengan hari-hari biasanya.

Memang benar kata orang, cinta akan mengubah segalanya dan mungkin Gibran tengah merasakannya sekarang—dengan Arinta.

"Tumben Kak Gibran ketawa?"

Niatnya Arinta ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi justru Gibran semakin membuatnya seperti memakai blush on sekarang. Terbukti dengan tiba-tiba tangan Gibran yang menggenggamnya erat dan mata yang menatapnya lekat.

"Itu semua karena kamu, Arinta," ujar Gibran.

Sungguh saat ini Gibran sedang dikuasai oleh cintanya, sampai-sampai ia seperti lupa akan masalah yang sedang menimpanya—lebih tepatnya kenyataan kelam masa lalu orang tuanya.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang