Sedari tadi Sherin terus mengembangkan senyumnya di dalam taksi yang akan mengantarkannya pulang. Ingatannya masih merekam jelas kejadian tadi. Ketika ia bisa bersama dengan Gibran di ruang musik.
"Maaf saya tadi ada urusan, sekarang bisa ikut dengan saya ke ruang musik?" tanya Gibran yang tiba-tiba sudah ada di depan Sherin.
Sherin yang posisi awalnya menelungkupkan kepala, kian mendongak mendengar suara yang sangat dikenalinya.
"Eh, Kak Gibran. Mau ke ruang musik? Bukannya tadi rame di sana?"
"Saya sudah cek kembali dan kebetulan sepi."
Mendengar kata sepi yang terucap, membuat Sherin tersenyum malu.
"Oke, Kak. Yuk ke sana sekarang, keburu bel pulang nanti." Sherin melirik ke arah jam di kelas yang menunjukkan pukul setengah sebelas. Sedangkan bel pulang nanti dimajukan menjadi jam satu.
Ternyata benar, begitu sampai di ruang musik, hanya ada beberapa alat musik saja. Tidak seperti tadi yang ramai orang di dalamnya.
"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Gibran yang sudah memangku gitarnya.
Melihat Gibran dengan posisi seperti itu, Sherin menatap sampai ia tak berkedip. Sungguh, ia begitu jatuh dalam pesona kakak kelasnya itu.
"Jangan melamun!"
"Eh, i-iya, Kak, tapi ini nadanya gimana, Kak?"
Sial! Mengapa Sherin menjadi gugup seperti ini.
Gibran mulai memberi arahan yang didengar seksama oleh Sherin. Tanpa disengaja mereka duduk berdekatan, membuat Sherin dengan mudah menyenderkan kepalanya pada bahu orang yang dicintainya.
Perbincangan mereka hanya berlanjut singkat, sebab saat gitar yang di pangkuan Gibran mengeluarkan suara, saat itulah Sherin mulai bernyanyi dengan memandang kertas fotokopi dari Gibran, karena memang ia belum menghafalnya.
Ada satu kejadian yang membuat Sherin malu saat mengingat hal itu, di mana tanpa sadar memeluk Gibran kala ada tikus di sebelahnya, entah dari mana munculnya tikus itu. Padahal keadaan di ruang musik cukup bersih dan tertata rapi. Beruntung saja saat itu tak ada orang lain yang melihat, jika sampai ada sudah dipastikan hal itu akan menjadi gosip di SMA Dharmawangsa.
Baru sampai pertengahan jalan, Sherin melihat anak perempuan yang duduk sambil menangis di bawah pohon dan ia tergerak untuk turun menghampirinya.
"Pak, tunggu sebentar, ya. Saya nggak lama kok," ujar Sherin dan mendapat anggukan pria paruh baya yang tak lain adalah sopir taksi.
Ketika Sherin sudah berada di depan anak kecil yang entah siapa itu, ia lantas membantunya untuk berdiri.
"Kakak siapa?" tanya anak kecil berbaju hitam dengan rambut berkuncir kuda.
"Nama kakak, Sherin. Nama kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Namaku Bella, Kak. Aku kabur dari rumah."
"Lho kenapa kamu kabur?"
Begitu Sherin menanyakan hal itu, Bella justru menangis dan berujung ke dalam pelukannya.
"Eh, jangan nangis. Udah-udah dari pada di sini sendirian, mending kamu ikut ke rumah kakak, yuk!"
Bella melepas pelukan itu. "Bella di sini aja, Kak."
"Nggak! Pokoknya kamu harus ikut kakak ke rumah, di sini rame banget lho. Ntar kamu diculik gimana? Emang mau?"
Dengan cepat Bella menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...