BAB 34

1.3K 122 113
                                    

Dua Minggu sudah berlalu, sejak kejadian dimana Gibran akhirnya jujur kepada Sherin dan selama itu pula Sherin mulai menghindar dari kakak kelasnya itu.

Kondisi Sherin yang belum bisa berjalan, mengharuskan ia untuk pelajaran di rumah bersama guru yang telah dipilihkan kedua orang tua.

Seperti saat ini, Sherin tengah berada di kamarnya. Duduk di atas kursi roda dengan guru di sebelahnya. Entah kenapa, dari sekian ruangan yang ada, ia memilih untuk belajar di kamarnya saja. Rasanya seperti malas jika harus keluar dari kamar, semenjak ia pulang dari rumah sakit. Apalagi kini kamarnya pindah di kamar tamu, yang terletak di lantai satu.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi, biasanya jam segini waktunya murid SMA Dharmawangsa untuk istirahat pertama. Mengingat hal itu, membuat Sherin semakin rindu dengan sekolahnya.

Berbicara soal sekolah, Sherin teringat kejadian kecelakaan yang menimpanya di depan gerbang sekolah dan kini ia sudah mengetahui jika semua itu terjadi karena sabotase. Bahkan ia kaget, begitu mendengar kabar kalau salah satu kakak kelasnya yang melakukan hal itu, terlebih orang itu Reza—ia begitu kenal dengannya.

"Bu Mitha, minum di kamar aku habis dan aku haus. Aku mau ambil minum sebentar, ya?" tanya Sherin kepada guru privat di depannya.

"Biar saya yang ambil, kamu tunggu di sini saja."

"Eh, tapi, Bu ...."

"Sudah, kalau begitu saya keluar sebentar dan kamu di sini saja. Oke?"

"Terima kasih, Bu."

Di sisi lain, bel istirahat berbunyi sangat nyaring membuat hampir seluruh murid berhamburan di kantin sekolah.

Termasuk Gibran yang berjalan bersama Deni untuk ke kantin sekolah. Banyak sekali yang menyinggung soal Reza kala mereka berjalan.

Sedari tadi, Deni terlihat berusaha menahan amarahnya agar tidak memuncak. Walaupun memang benar sahabatnya yang melakukan hal keji itu, tetapi ia sangat tidak menerima hujatan mereka tentang sahabatnya itu.

"Tahan emosi Anda," ujar Gibran.

"Gue tahan, nih, Gib! Kalau nggak mereka udah babak belur." Deni menarik rambutnya frustasi.

Begitu mereka sampai di kantin, Gibran segera memesan makanan. Sementara Deni mencari tempat duduk. Namun, saat Gibran hendak memesannya, seseorang tiba-tiba menabraknya. Orang itu tak lain adalah Rizal.

"Maaf-maaf gue nggak sengaja."

Dari wajahnya saja terlihat jika Rizal sedang buru-buru. Entah apa yang ia lakukan sebelum dan sesudahnya.

"Oke, lain kali jangan lari-larian. Di sini ramai. Untung saya dengan tangan kosong, coba sekarang Anda lihat ke sana." Gibran menunjuk ke arah siswi dengan mangkuk bakso di tangannya, "bisa tumpah." lanjutnya lalu menepuk pundak Rizal.

"Gue buru-buru!"

Melihat Rizal yang masih berlari, membuat Gibran menggeleng heran, tetapi tiba-tiba ia terpikir sesuatu. Walau ia sendiri tidak paham betul dengan maksud pikirannya.

"Ada yang aneh," gumam Gibran lalu lanjut untuk memesan makanan.

Usai memesannya, Gibran mengedarkan pandangannya menjelajah kantin sekolah yang sangat ramai. Hingga akhirnya ia melihat Deni yang duduk dibangku tengah dengan tangan yang melambai.

"Uangnya gue ganti ntar," ujar Deni sebelum akhirnya memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

Lima menit setelahnya, Gibran menyudahi aksi makannya. Ia mengambil gelas es teh di sebelah mangkuk baksonya yang sudah kosong, lantas meminumnya membasahi tenggorokannya yang kepedasan akibat banyaknya sambel yang ia ambil.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang